Benteng-Benteng Surabaya
March 8, 2019Serangan Umum 1 Maret 1949
March 8, 2019Kriegsmarine Battleships
Dalam Perang Dunia II (1939-1945) banyak terjadi kisah pertempuran laut yang menarik, baik itu yang terjadi di front Atlantik maupun Pasifik. Di front Pasifik, pertempuran laut terjadi antara armada AL (Angkatan Laut) Amerika dan Jepang, di mana keduanya yang termasuk tiga negara teratas pemilik kekuatan laut terbesar dan terkuat di dunia saling mengerahkan armada kapal-kapal induk mereka. Sementara pertempuran laut yang terjadi di front Atlantik lebih didominasi oleh konflik antara AL Inggris (Royal Navy) dengan AL Jerman (Kriegsmarine), di mana AL Jerman berusaha memblokade daratan Inggris secara ekonomi dengan menghancurkan kapal-kapal dagangnya untuk melemahkan kemampuan berperang Inggris.
Pertempuran laut antara AL Inggris dengan Jerman, dari segi kekuatan jumlah kapal perang, boleh dikatakan tidak seimbang, karena AL Inggris yang merupakan kekuatan laut terbesar nomor satu di dunia pada waktu itu harus berhadapan dengan AL Jerman yang bahkan kekuatannya tidak termasuk ke dalam lima besar kekuatan laut dunia. Jerman tidak memiliki kapal induk ataupun kapal tempur besar, sedangkan Inggris punya banyak dan tersebar di berbagai penjuru samudera.
Ketika mulai pecah perang pada bulan September 1939, AL Jerman hanya memiliki 2 buah kapal perang utama (capital ships), yaitu penjelajah tempur Scharnhorst dan saudara kembarnya, Gneisenau, yang meski terbilang masih baru dan modern, namun kalah kelas dengan kapal-kapal perang Inggris yang memiliki bobot dan persenjataan meriam yang lebih besar kalibernya. Baru pada tahun 1941, kapal tempur raksasa Bismarck dan Tirpitz selesai dibangun dan siap untuk memperkuat jajaran armada AL Jerman. Scharnhorst (29.000 ton) merupakan salah satu kapal perang kebanggaan dan andalan AL Jerman pada masa-masa awal pecahnya perang.
Bahkan sebelum kapal tempur Bismarck dan Tirpitz lahir, Scharnhorst adalah kapal perang utama terbesar yang menjadi kapal pimpinan armada (flagship) dimana kehadirannya dalam setiap operasi tempur di lautan mengundang kekhawatiran tersendiri bagi AL Inggris. Meski usia operasionalnya hanya 5 tahun (sejak Januari 1939 hingga Desember 1943), tetapi bersama Gneisenau, Scharnhorst berhasil menenggelamkan sejumlah kapal perang Inggris, seperti kapal penjelajah HMS Rawalpindi, kapal induk HMS Glorious dan dua pengawalnya, kapal perusak HMS i dan Acasta. Selain itu, Scharnhorst dan Gneisenau juga berhasil menenggelamkan sebanyak 22 kapal dagang dan kargo milik Sekutu dengan nilai bobot total mencapai 113.690 ton, serta berhasil menantang dan mematahkan simbol supremasi AL Inggris di laut yang katanya tak terkalahkan ketika keduanya bersama kapal penjelajah berat Prinz Eugen berhasil melintasi Selat Inggris (English Channel) dalam Operation Cerberus yang terkenal itu.
Penjelajah tempur Scharnhorst mengakhiri masa baktinya dalam suatu pertempuran heroik menghadapi sendirian keroyokan kapal-kapal perang Inggris yang lebih superior dalam Battle of North Cape yang menyebabkan kapal perang ini menemui ajalnya bersama sebagian besar awaknya di perairan Laut Utara secara tragis namun terhormat. Nasib tragis dan ironis juga dialami oleh kapal tempur Bismarck dan Tirpitz. Bismarck (42.000 ton) tamat riwayatnya ketika baru menjalani pelayaran perdananya. Setelah sebelumnya menenggelamkan kapal penjelajah tempur Inggris HMS Hood dalam Battle of Denmark Strait, Bismarck pun akhirnya tenggelam setelah diserang kapal-kapal perang AL Inggris, sedangkan Tirpitz jauh lebih ironis lagi, kapal tempur ini tidak pernah terlibat dalam pertempuran. Selain karena pihak AL Jerman belum siap untuk kembali kehilangan kapal tempur besarnya, memasuki tahun 1943, Jerman mulai mengalami krisis bahan bakar. Tirpitz pun akhirnya dibom dan ditenggelamkan oleh serangan udara bomber-bomber Inggris. Kisah-kisah pertempuran laut ini sudah seharusnya menginspirasi masyarakat Indonesia dalam merenungi kepahlawanan di samudera. Sebab, “Jalesveva Yayamahe” adalah semboyan milik kita.