KRI Dewa Ruci dan Operasi Sang Saka Jaya
March 9, 2019Taman Siswa Adalah Perlawanan
March 22, 2019KMB dan Kampung Neneknya Si Murad
Dalam pertemuan di Konfrensi Meja Bundar (KMB), pihak Belanda mengatakan, “Kami, sebagai tuan sesuai dengan hukum internasional, dan akan tetap demikian hingga nanti kami menyerahkan kedaulatannya…”. Pernyataan Belanda inipun segera ditanggapi keras oleh Delegasi Republik Indonesia. “Yang benar saja dong! Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Hatta. Selesai!”
Begitulah kesaksian yang dituturkan oleh Rosihan Anwar di seputar alotnya KMB. Sebelumnya, Nederland Indie diakui sebagai milik Belanda. Namun, ketika Jepang menyerbu, Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati dan menyerahkan Nederland Indie kepada Jepang.
Lalu, ketika Jepang menyatakan menyerah setelah dibom atom, bersamaan dengan itu berlangsung situasi vacuum of power. Ketika itulah terbit Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di mana pihak Jepang juga belum menandatangani penyerahannya kepada Sekutu, yang baru dilakukannya kemudian pada 2 September 1945. Bangsa Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya, pun ditolak oleh Belanda atas dasar argumen hukum internasional. Sehingga, Yogyakarta sebagai Ibukota RI, menurut Belanda sah-sah saja untuk diserang dan diduduki. Pihak Belanda mengedepankan aspek hukum sebagai landasan dalam KMB.
Sementara itu, Muhammad Hatta, Proklamator yang mereka telah tolak eksistensinya, justru hadir sebagai delegasi utama pada prosesi “Transfer of Sovereignity” tersebut di Den Haag, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Jakarta. Bahkan, di sela berjalannya KMB, Hatta pun merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, secara leluasa bersama Sultan Hamid II dan lain-lainnya, termasuk juga orang-orang Belanda yang bersimpati pada perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Padahal 17 Agustus 1945 tidak pernah diakui pemerintah Belanda.
Berbicara soal “hukum”, yang notabene selalu dijunjung-junjung oleh Belanda, menarik untuk disimak adegan dialog dalam film Naga Bonar yang legendaris itu, sebuah film dengan set sejarah sebelum KMB.
“Kenapa abang tunjuk Parit Buntar? Padahal kita semua tahu kalau tempat itu sudah mereka duduki. Ini soal garis demarkasi, Bang!”
“Bah.. kenapa mereka duduki, itu kan kampung neneknya Si Murad!, Jadi bukan kampung mereka! Coba… kau bilang kepada Mayor Jam Tangan itu, supaya mereka jangan tinggal di kampung neneknya Si Murad! Tapi pulang ke kampung mereka!”.
Menurut hukum, yang berjalan melalui perundingan sebagai dasar, Parit Buntar adalah wilayah Belanda. Tetapi, sekali lagi, “itu kampung neneknya si Murad!” sebagaimana Naga Bonar katakan. Sedangkan si Murad dan Naga Bonar berjuang untuk tegaknya Republik Indonesia.