Jawa dan Sumatera: Kisah Seorang Tawanan Perang.
May 4, 2019Surat Terbuka: Mempertanyakan Kembali Kesaksian Eddie Samson dalam Insiden Bendera Surabaya
May 12, 2019Politik Kolonial dan Kekhawatiran Terhadap Dakwah Islam
Thomas Stamford Raffles merupakan gubernur jenderal Inggris yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816).
Diketahui, pada masa ketika Nusantara dikuasai oleh Inggris, setelah kekalahan kelompok Perancis-Belanda, maka kedudukan gubernur jenderal di daerah koloni terjadi pergantian dari Daendels kepada Thomas Stamford Raffles.
Daendels sendiri merupakan orang Belanda yang pro Perancis ketika negeri Belanda berhasil dikalahkan dan diduduki oleh Perancis. Rentang waktu antara 1795-1819 ini juga, di negeri Belanda, terjadi perubahan politik yang begitu cepat dan dinamis, yang berdampak pula dengan dinamika politik di tanah jajahan, Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan Raffles, seluruh pasukan bentukan Perancis-Belanda yang berada di Hindia Belanda tersebut dilucuti dan dibubarkan. Setelah itu Raffles mulai membentuk sistem keamanan dengan biaya rendah.
Selama memerintah, Raffles lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Rafles tinggal di Rijswijk, di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.
Rafles, dalam sebuah kesempatan pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Ketika berlangsung peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap, yaitu sebuah lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen.
Raffles, dalam pidato sambutannya itu meminta agar, mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam, terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung di Betawi.
Namun, tampak dalam pujian dan kekaguman itu juga terselip kekhawatiran yang teramat sangat. Sebagaimana kekhasan orang-orang Eropa, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini juga khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani ini (Bataviasch Genootschap) mencari jalan keluar untuk mengimbangi dakwah para mubaligh.
“Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.
Seperti layaknya meneruskan Perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai -figur yang dihormati di masa penjajahan.
Kelak kekhawatiran ini banyak terbukti. Dalam Risalah Rabithah Alawiyah misalnya, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji.
Pun ketika masa pendudukan Jepang berlangsung, yang sejak awal mereka telah banyak melakukan pelarangan dan pengawasan terhadap aktivitas dakwah Islam.
Namun pihak Jepang kemudian menyadari bahwa, bagaimanapun kekuatan umat Islam itu sangat besar dan perlu dirangkul kembali. Munculnya MIAI dan kemudian Masyumi hingga pada pelatihan laskar-laskar seperti Hizbullah bisa dijadikan indikator bahwa Jepang memiliki perhatian yang berbeda terhadap umat Islam di tanah jajahan yang singkat itu.
Sekalipun kelak, dalam memperjuangkan kemerdekaannya, umat Islam di Indonesia juga harus berupaya lebih keras melawan segala upaya propaganda kolonial melalui orang-orang pribumi.