Dari Grotius hingga Zegveld: 400 Tahun Hak untuk Menjarah
August 27, 2020Gerilya Bahari: Fenomena ‘Bajak Laut’ di Nusantara Abad Ke-19
September 4, 2020Doktrin Perjuangan dari ‘Saudara Tua’
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/08/Tentara-Jepang-Hormat-Anak.jpg)
Tentara Jepang memberikan pemahaman dan pengajaran tentang cara hormat terhadap anak-anak di suatu wilayah di Jawa. Foto: www.kitlv.nl.
Diperbarui 14 Agustus 2020
Dalam foto di atas tampak beberapa tentara Jepang sedang memberikan pemahaman dan pengajaran tentang cara hormat kepada anak-anak di suatu wilayah di Jawa, di daerah yang mereka duduki. Hal ini diberlakukan sebagai bagian dari upaya Jepang dalam melanggengkang kekuasaannya, yaitu dengan menarik simpati rakyat di daerah yang mereka duduki.
Hal semacam ini merupakan bentuk lain dari upaya doktrinasi pemerintahan militer Jepang terhadap rakyat di daerah yang mereka duduki. Karena, tak selamanya kekuasaan atas pendudukan harus selalu dilangsungkan dengan todongan moncong senapan. Keterbatasan alat kekuasaan untuk melakukan hal-hal yang bersifat represif dan intimidatif biasanya akan diganti dengan hal-hal yang mengandung simpati, karena dirasa lebih efesien dan efektif.
Sebagaimana dengan di Hindia Belanda (kemudian Indonesia), ketika Jepang pada akhirnya berhasil mendepak kekuasaan Belanda dari Tanah Yang Menjanjikan ini, kepulauan Nusantara. Indoktrinasi atau bentuk propaganda lainnya ini menjadi perkara yang lazim dan menjadi keniscayaan. Sederhananya, upaya ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat pendudukan agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Dengan kata lain, hal ini juga akan memudahkan Jepang untuk merekrut mereka bagi kepentingan militer Jepang sendiri, sebagai komponen cadangan atau sebagai tenaga tentara. Pendudukan Jepang di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, berada dalam ancaman serbuan Sekutu.
Dalam konteks meraih simpati, secara khusus, pemerintahan militer Jepang bahkan mengeluarkan kebijakan tersendiri. Demi memperlancar pelaksanaan kebijakan Jepang di wilayah pendudukan di Jawa misalnya, pemerintah militer Jepang kemudian memberikan perhatian besar tentang bagaimana “menyita hati rakyat” (minshin ba’aku) dan bagaimana “mendoktrinasi dan menjinakkan mereka” (senbu kosaku).
Pemerintahan militer Jepang beranggapan bahwa perlu memobilisasi seluruh rakyat dan membawa sepenuhnya mentalitas rakyat Indonesia menuju kesesuaian dengan ideologi Jepang tentang Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Selama pendudukannya di Indonesia, pemerintahan militer Jepang pada hakikatnya memang tidak berbeda dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sekalipun pemerintahan pendudukan Jepang adalah yang tersingkat di dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, namun pada masa ini dianggap menjadi periode paling penting dan paling bergelora.
Setidaknya, sebelum pendudukan militer Jepang di Indonesia, belum pernah terjadi dan tercipta suatu kondisi yang memungkinkan terjadi revolusi di Indonesia. Jepang, secara langsung ataupun tidak, memberi sumbangan langsung terhadap terciptanya kondisi tersebut.
Dalam Dekrit Nomor 1 Pasal 1, undang-undang yang dibuat oleh pemerintahan militer Jepang untuk Pulau Jawa, antara lain berbunyi:
“Karena bala tentara Dai Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang masih sebangsa dan seketurunan dan juga hendak mendirikan ketenteraman yang teguh dan makmur atas dasar mempertahankan Asia Raya bersama-sama, maka bala tentara Dai Nippon melangsungkan pemerintahan militer untuk sementara waktu di daerah-daerah yang telah diduduki untuk menjaga keamanan yang sentosa dan segera.”
Kemudian, dalam menjalankan fungsi pemerintahan sipil, pemerintah militer Jepang memperbolehkan masuknya pemain-pemain baru dari kalangan pribumi dalam kedudukannya yang berpengaruh, kemudian mengakui pemimpin-pemimpin nasionalis dan Islam sebagai penghubung resmi antara Jakarta (dulu Batavia) dengan rakyat.
Bahkan para penentang (aktivis) terhadap eksistensi pemerintahan Hindia Belanda pada masa sebelumnya, berubah menjadi golongan elite baru. Para elite yang umumnya juga merupakan priyayi baru kemudian mendapatkan kedudukan dengan diangkat dan diakui.
Pada awal tahun-tahun pendudukan, penguasa baru, Jepang, bahkan mendukung sepenuhnya para pemimpin politik dan agama melebihi kedudukan dari para pangreh praja. Pemerintahan militer Jepang berdiri atas prinsip kesamaan latar belakang, Pan Asia dengan slogan-slogan yang bernada superioritas bangsa Asia atas Eropa.
Tak lama setelah mendepak Belanda, dan dalam rangka memperkuat pertahanan sipil dalam menjalan roda pemerintahan, dibentuklah barisan pemuda bangsa Indonesia pada tanggal 29 Maret 1942 dengan nama: Seinendan dan Keibodan. Kedua organisasi tersebut dalam perkembanganya diberi pelajaran koiren (latihan perang) dan lagu-lagu Jepang yang bersifat heroik (kepahlawanan).
Di sekolah-sekolah, dibentuk Gakhotanari (Himpunan Pelajar Menengah). Selain pengetahuan umum, mereka juga akan diberi pelajaran tentang baris-berbaris dan peperangan. Termasuk dengan para remaja yang masih menginjak tingkat Menengah Pertama (Chugakko), Menengah Atas (Daigakko), dan Perguruan Tinggi.
Di Surakarta misalnya, dibentuk Persatuan Pelajar Islam (PPSI) yang diketuai oleh Sukimin, dan Persatuan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) yang dirintis oleh Abdul Majid. Para pemuda dari kedua organisasi pelajar inilah yang kelak menjadi Laskar Hizbullah.
Sejatinya, dari kebijakan minshin ba’aku dan senbu kosaku terlihat jelas bahwa Jepang sangat membutuhkan bantuan dari bangsa yang tengah didudukinya. Oleh karenanya, perlu dilakukanlah mobilisasi seluruh rakyat agar dapat sesuai dengan ideologi Jepang. Harapannya, pertahanan sipil tiap daerah, desa, atau kelurahan mempunyai tenaga cukup banyak.
Dapat dikatakan juga bahwa, inilah caranya mempengaruhi rakyat Indonesia agar bersedia memihak kepada Jepang. Lagi pula, riwayat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak kedatangannya pertama kali, membawa luka yang mendalam pada rakyat Indonesia. Memori yang bersifat traumatik dari rakyat Indonesia ini tentu akan semakin memudahkan Jepang menarik simpati dari rakyat Indonesia untuk mau memihak dan mendukung mereka.
Sebagaimana pola umum yang berkembang di negara dengan ideologi fasisme, pun demikian halnya perilaku “saudara tua” ini, Jepang menggunakan pemikat umum yang digunakan oleh kaum fasis, terlebih lagi hal tersebut adalah elemen esensial dalam fasisme, yakni daya tarik populis dengan pengerahan dan penekanan organisasi massa.
Selain itu, posisi Jepang juga diuntungkan dari upayanya dalam menghadapi Sekutu, di mana Belanda masuk di dalamnya. Jepang kemudian menempatkan dirinya sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia, yang satu benua yaitu Asia, dan juga menjadi pihak yang dapat mengalahkan, bahkan mengusir Belanda dari Indonesia.
Jepang, dalam hal ini memposisikan diri sebagai sesama bangsa Asia yang pernah mengalahkan Rusia pada awal tahun 1900-an, juga menjadi pembela bagi bangsa-bangsa Asia dalam menghadapi superioritas Eropa. Ia datang bak dewa penyelamat bagi keterkungkungan Asia dari Eropa.
Inilah yang barangkali oleh beberapa sejarawan, bahwa Jepang dianggap memiliki kontribusi bagi rakyat Indonesia untuk mendorong lebih keras terjadinya revolusi.
Referensi:
- C Ricklefs, 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- 2017. Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Dio Yulian Sofyansyah. 2018. Propaganda Romusha Sandiwara dari Jepang. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.