Revolusi dalam Pusaran Elite Sipil dan Militer: Tentang Revolusi di Indonesia (I)
October 23, 2020Indonesia dan Bangsa Indonesia
October 27, 2020Memadamkan Api Revolusi: Tentang Revolusi di Indonesia (II)

Para pemuda dari organisasi pemuda Indonesia, November 1949. | Sumber Foto: www.nationaalarchief.nl | Coloring: Matapadi
Di manapun, di dalam setiap revolusi, keberadaan elite memegang peranan menentukan. Sebab, rakyat membutuhkan pedoman dalam menyikapi setiap situasi yang biasanya secara drastis berubah. Sedangkan situasi revolusioner membuat norma dan nilai-nilai sosial menjadi tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman yang tegas.
Perubahan yang dialami oleh masyarakat akibat dari revolusi selalu diikuti pula dengan lahirnya elite yang karismatik. Karisma elite ini akan meningkat sesuai dengan kesanggupannya membuktikan diri bahwa sikap, pernyataan, dan pikiran-pikirannya memang bermanfaat bagi rakyat luas, sehingga dengan sendirinya mampu meningkatkan daya tempur, semangat revolusioner dan pengorbanan diri dari para pengikutnya.
Sebaliknya, karismanya dapat berkurang apabila ia melakukan kesalahan yang secara kasat mata merugikan rakyat. Elite semacam ini bukan hanya bisa ditinggal oleh pengikutnya, tetapi seketika bisa dianggap musuh.
Dan, jauh sebelum revolusi berlangsung (1945-1949), pada tahun 1913, E.F.E. Douwes Dekker sudah melontarkan pernyataan dalam salah satu tulisannya.
“Tampaknya tidak sukar untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Untuk saya sendiri, saya melihat masa yang akan datang itu sebagai suatu masa perjuangan hebat, dengan pertumpahan darah, masa perang saudara dan perang kemerdekaan bila para penguasa tidak mulai dari sekarang juga merubah pendiriannya dan tidak bersedia untuk mengekang nafsu meterialisnya yang kasar itu, untuk memberi tempat kepada kekuasaan Hindia Baru yang telah lama diidam-idamkan dan kini sedang bergerak maju itu.”
Dan, lebih dari 30 tahun kemudian, perkiraan Douwes Dekker menemui kenyataan. Hindia Baru atau yang kemudian dikenal sebagai Indonesia, memasuki medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikannya. Pecah konflik terbuka melawan Belanda. Tanah ditumpahi darah.
Semasa revolusi, kekuatan yang oleh rakyat dapat dipandang sebagai reperesentasi dari hadirnya sebuah negara baru, sebatas terlihat dari adanya badan-badan perjuangan, militer, dan keberadaan partai-partai politik. Dan, kesemuanya bergerak dengan satu insignia yang sama, bendera Merah Putih. Walau demikian, di situ terdapat pula dimensi internal revolusi yang muncul dari interaksi antar kekuatan dan perbedaan kepentingan di dalam Republik.
Aliran paham dan ideologi yang telah ada sejak Masa Pergerakan, di masa pecahnya revolusi, dapat menemukan kembali para pengikutnya. Secara aktif masing-masing dari mereka turut mewarnai pergulatan perjuangan. Akibatnya, berbagai kepentingan yang menjadi ekses dari perbedaan paham dan ideologi, juga rentan berubah ke arah konflik antar kelompok dan golongan.
Titik kulminasi dari interaksi yang berujung kepada konflik tersebut tampak nyata di dalam beberapa peristiwa, antara lain: dinamika yang terjadi di lembaga Komite Nasional Indonesia Pusat (Maklumat No. X dan perubahan mendasar sistem pemerintahan dari Presidensiil ke Parlementer), Peristiwa 3 Juli 1946, pergantian kabinet, reaksi atas serangkaian persetujuan (Linggajati, Renville, Roem-Roijen, KMB), dan mengawali masa perbedaan keras sejak Kabinet Hatta mengendalikan pemerintahan, menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin, yang dipuncaki oleh Pemberontakan PKI di Madiun. Padahal, dari awal revolusi hingga awal tahun 1948, para elite di daerah tampak patuh terhadap kebijakan dari elite di pusat.
Sedangkan dari sisi Belanda, pemimpin-pemimpin militernya meyakini bahwa sumber utama dari persoalan Indonesia ditimbulkan oleh para elitenya. Dan, persoalan ini akan selesai apabila beberapa elite puncak dari Republik dapat ditundukkan. Artinya, untuk memadamkan kobaran revolusi, habisi saja sumber apinya.
Sebagai usaha untuk mewujudkan pandangannya itu, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militernya yang kedua. Dan berhasil. Beberapa petinggi pucuk dari Republik dapat ditawan. Republik mengalami krisis pemerintahan dan kepemimpinan politik.
Andai saja waktu itu Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, yang sedang berada di Sumatera, tidak berhasil membentuk pemerintahan darurat yang dapat terpantau hingga ke meja Dewan Keamanan PBB; dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau menerima “belenggu” dari Belanda, maka revolusi yang menurut teori hanya bergantung kepada para elite itu bisa dipastikan tamat dari pandangan dunia internasional.
Sesudahnya, rakyat yang berjuang terpencar-pencar hanya akan dikenal sebagai gerombolan kriminal bersenjata, tidak lebih.
@matapadi