Surabaya: Media, Kekuasaan, dan Sejarah
November 2, 2020Revolusi di Surabaya
November 2, 2020Nasionalis Indonesia Yang Radikal
Surat kabar The Sydney Morning Herald yang terbit pada 6 November 1945, menuliskan berita tentang peristiwa Pertempuran Surabaya Fase I yang berlangsung antara 28-30 Oktober 1945, di mana dituliskan, “Jika pertempuran berlangsung hingga dua hari lebih lama maka pasukan Inggris akan tersapu bersih”. Dalam pertempuran yang berujung terkepungnya tentara Inggris ini, pihak Sekutu kemudian meminta Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia untuk melerai dan meredakan amarah rakyat Surabaya.
Dalam salah satu paragraf berikutnya disebutkan tentang dukungan dan semangat rakyat terhadap kemerdekaan, yang dituliskan dengan, “Para pemuda bersenjata tampaknya berdatangan dari berbagai penjuru Jawa Timur dan turut bertempur demi kemerdekaan. Di seluruh Jawa, terdapat demam hasrat menuntut kemerdekaan. Dengan keinginan tanpa ragu untuk menghabisi siapapun yang menjadi penghalang.”
Dalam memoarnya, Haryo Kecik mengungkapkan pengalamannya ketika ikut terlibat menyerbu markas Kempetai bersama semua elemen rakyat Surabaya. Ia menggambarkan ketika serbuan itu berlangsung dengan, “… saya berdiri dan maju, hanyut secara fisik dan mental di dalam gelombang massa yang mengamuk. Itulah cara dan corak penghayatan mereka kepada Proklamasi Kemerdekaan yang sakral.”
Juga seperti yang dituliskan oleh Prof. Osman Raliby yang menceritakan kegigihan dan keberanian kaum perempuan yang mengantarkan kebutuhan pangan para pejuang yang berada di garis depan pertempuran, dengan risiko menjadi sasaran tembakan senapan musuh. Dengan nada kagum ia menuliskan, “Dan lebih mengagumkan lagi semangat kaum wanita kita yang melaksanakan kewajiban di garis belakang pertempuran untuk mengantar makanan. Mereka tak kenal takut atau gentar sedikitpun juga….”
Bahkan lebih dramatis lagi, dia menuliskan tentang peristiwa meninggalnya seorang pemuda yang meninggal akibat terkena pecahan bom, “Dalam pertempuran itu dapat saya lihat seorang pemuda yang tanganya hancur luluh kena pecahan bom. Ketika hendak menarik nafasnya yang terakhir ia berkata kepada kawan di sisinya, ‘saudara, berjuanglah terus, jangan pikirkan saya, merdeka!’”
Dari sini bisa digambarkan mengapa rakyat Surabaya bisa begitu total menghadapi kepongahan Sekutu, di mana hampir semua elemen rakyat turut melibatkan diri dalam pertempuran. Tak tampak ketakutan dalam raut wajah mereka. Namun secara umum, hal-hal semacam ini justru dituliskan oleh media-media asing itu dengan dengan, “Orang-orang fanatis yang tidak bisa dijelaskan” atau “Kalangan Nasionalis Indonesia yang radikal”.
Suasana seperti inilah yang barangkali luput untuk dipahami oleh para wartawan asing yang meliput secara langsung terjadinya Pertempuran Surabaya. Apa yang terjadi di Surabaya pada Oktober – November 1945, oleh pemberitaan surat kabar di luar negeri, terasa jomplang dari kenyataannya. []