Pasukan Khusus Belanda yang Pernah Dibentuk di Indonesia
November 10, 2020Pertempuran Surabaya, Perlawanan yang di Luar Dugaan
November 14, 2020Pertempuran Segitiga dan Menolak Gencatan Senjata
Setelah beberapa bulan di wilayah Republik, tibalah pasukan Siliwangi diperintahkan kembali ke daerah di mana mereka berasal, kantong-kantong perlawanan Jawa Barat. Perjalanan kembalinya Pasukan Siliwangi ini dikenal dengan Long March Siliwangi.
Perjalanan dimulai tepat sehari setelah saat ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, diserang Belanda dalam Agresi Militer Belanda II dengan sandi Operatie Kraai.
Sebuah perjalanan kembali yang berat. Selain berisiko diserang Belanda, pasukan Siliwangi kembali juga dalam rangka meredam amarah saudara sendiri, pemberontakaan DI/TII Kartosuwiryo.
Setelah berhari-hari melalui perjalanan yang berat dan melelahkan, sampailah mereka di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di sini, mereka mulai mencari informasi tentang berbagai tindakan-tindakan DI.
Tindakan DI terhadap TNI biasanya untuk merebut persenjataan yang dibawa oleh mereka, prajurit TNI. Bagi prajurit TNI yang lepas dari induk kesatuannya, mereka akan jadi sasaran empuk oleh DI. Umumnya para prajurit yang “pulang kampung” ini tidak mengetahui jika keadaan di daerahnya telah berubah.
Ketika mereka tiba di suatu kampung, karena kelelahan dan kelaparan, mereka akan dijamu oleh penduduk yang merupakan anggota DI. Namun, jamuan ini biasanya sudah mengandung racun.
Seperti apa yang dialami oleh pasukan TNI dari batalyon pimpinan Sutan Husinsjah. Sebelum Hijrah, batalyon ini memiliki wilayah penugasan di Tasikmalaya Barat, Cisayong, Singaparna. Namun setelah batalyon ini kembali, daerah ini sudah menjadi pusat gerakan DI/TII.
Di Jawa Barat, pasukan Siliwangi harus berhadapan dengan dua musuh sekaligus. Yang pertama pasukan DI/TII dan yang kedua adalah tentara Belanda. Beberapa kali mereka bahkan terlibat dalam pertempuran segitiga. Pun ini dialami juga oleh pasukan Sutan Husinsjah.
Namun umumnya, tentara Belanda terlibat pertempuran setelah mengetahui jika ada pertempuran antara TNI dan pasukan DI/TII.
Berikut kesaksian dari Sutan Husinsjah komandan Batalyon Brigade IV/Brigade XIV Divisi Siliwangi (1946-1949), yang dituliskan dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Veteran RI, LVRI (1982), sebagai berikut:
“Saya menghadapi operasi yang paling berat pada masa gerilya ini, kita menghadapi front segitiga. Beberapa kali terjadi pertempuran segitiga antara kami (Divisi Siliwangi), DI (Darul islam), dan Belanda. Vuurcontact sering terjadi antara kami dengan DI (Darul Islam), sewaktu terjadi pertempuran demikian, maka datang pasukan Belanda dan terjadilah pertempuran segitiga.
Mengingat kesatuan terpencar-pencar, tenaga pukul kami sangat kecil. Persediaan peluru terbatas oleh karenanya tembakan harus dihemat. Alat komunikasi pemancar yang kami bawa dari Jawa Tengah rusak akibat terjatuh dalam perjalanan dan tidak bisa diperbaiki. Komandan Belanda di Tasikmalaya menghubungi saya melewati camat agar diadakan gencatan senjata lokal.
Di daerah Ciamis hal ini telah dilaksanakan, begitu juga di Bandung Selatan. Gencatan senjata lokal ini memang dapat meringankan kesatuan kita itu, sehingga musuh yang dihadapi tinggal satu, yaitu Darul Islam. Sepintas dapatlah dimengerti mengapa beberapa kesatuan kita mengadakan gencatan senjata lokal dengan tentara Belanda.
Namun, secara militer tindakan semacam itu kurang tepat, karena kesatuan kita lainnya yang tidak mengadakan perjanjian demikian, malahan mendapat tekanan musuh yang lebih berat.
Akan tetapi setelah ditimbang lebih dalam maka saya menolak walaupun keadaan pasukan sudah kritis. Saya menganggap gencatan senjata lokal atas kebijaksanaan sendiri komandan batalyon akan melemahkan posisi kita baik secara militer maupun politik.”
@matapadi @naufalafh
Sumber foto dan tulisan: Buku Bunga Rampai perjuangan dan pengorbanan Veteran RI, LVRI.