Tentang Buku Serangan Umum
February 26, 2021Bedil dan Kemajuan Teknologi Kesenjataan Nusantara
March 9, 2021Aceh, Yang Sangat Melelahkan Belanda
Sudah sejak tahun 1873, Belanda mencoba “menenangkan” Aceh yang melakukan perlawanan. Sebuah kerajaan di ujung pulau Sumatera, berpenduduk lebih sedikit jika dibandingkan dengan pulau Jawa, tetapi teguh menolak tunduk kepada Kerajaan Belanda. Tapi, apapun yang Belanda lakukan di Aceh, ia tak pernah mendapatkan wilayah dan kedudukan sebagaimana di wilayah lain di Nusantara yang berhasil ditundukkanya.
Hanya untuk menundukkan Aceh, Belanda menempuh pertempuran yang panjang nan melelahkan, dan itu berlangsung selama hampir tujuh puluh tahun dengan menelan korban puluhan ribu nyawa. Pada masa-masa awal, Belanda bahkan frustasi dan nyaris kehilangan harapan untuk menundukkan Aceh.
Belanda, pada abad ke-19, tampil sangat percaya diri atas keberadaban yang hendak ditunjukkannya. Belanda mencitrakan dirinya bahwa perilaku haus darah, represif, seperti di tahun-tahun awal VOC sudah tidak mungkin akan dilakukannya lagi.
Namun, antara 1825 dan 1830, ketika perlawanan berkecamuk di Jawa, Belanda telah membunuh sekitar 200.000 jiwa rakyat pribumi. Selain itu, Belanda juga telah memutuskan bahwa pada abad ini, kekuasaan mereka tidak boleh terbatas dan semua pulau-pulau di Nusantara harus berada di bawah kekuasaannya.
Paradoksal, demikianlah sikap Belanda dengan watak kolonialnya yang khas.
Atas sikap Belanda ini pernah dikritik oleh Max Havelaar (1860) dalam karyanya, Multatuli: membiarkan Saidjah seorang gadis belia yang berusia 15 tahun, mengembara melalui ‘sebuah desa yang baru saja ditaklukkan oleh tentara Belanda dengan dibakar’. Sebuah citra kepolosan yang mengerikan yang hendak ditunjukkan atas esensi dari pemerintahan kolonial di kepulauan Nusantara.
Dalam rangka perluasan daerah kekuasaan, seringkali unjuk kekuatan bersenjata sudah cukup untuk menaklukkan penduduk asli, tetapi situasi ini akan sangat berbeda dan sama sekali tidak berhasil: Aceh, di ujung utara Sumatera.
Sumber utama kemakmuran Aceh dalam pandangan Belanda adalah penanaman lada dan pembajakan. Sebuah dalil dan tuduhan yang sumir dalam soal pembajakan. Hingga tahun 1871 Aceh diakui oleh Inggris Raya sebagai negara merdeka, tetapi setelah itu Belanda diberi kebebasan dan dapat pula mencaplok bagian dari Sumatera ini.
Aceh dikenal dengan pejuangnya yang pemberani, angkuh, dan fanatik. Dan, reputasi ini bagi Belanda menemukan pembuktiannya. Belanda, yang juga menghadapi perlawanan di tempat lain di Sumatera, membuktikan bahwa Aceh jauh lebih sulit ditaklukan. Ekspedisi militer pertama Belanda yang relatif kecil, pada bulan April 1873, merupakan kegagalan total. Sang pemimpin ekspedisi Jenderal Köhler terbunuh.
Pada akhir tahun itu juga, setidaknya 13.000 pasukan Belanda telah mendarat dalam ekspedisi yang kedua di Aceh. Pasukan dengan lebih dari dua kali lipat dengan ekspedisi yang pertama itu di bawah komando Jenderal Jan van Swieten. Pada 24 Januari 1874, mereka berhasil merebut istana berbenteng Sultan di Kutaraja (Banda Aceh).
Namun kemenangan ini dirayakan sebagai kemenangan yang canggung dan tak seberapa. Sultan yang mengundurkan diri dari Kutaraja dan akhirnya wafat akibat wabah kolera. Praktis Sultan tidak bisa dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan. Dan di sini Belanda memiliki gambaran yang sama sekali keliru tentang perimbangan kekuasaan di Aceh.
Perebutan dalam (keraton) sama sekali tidak mengubah perlawanan Aceh. Atau jika seandainya sultan tertangkap sekalipun. Di sinilah ulama dan uleebalang berperan memimpin perlawanan terhadap Belanda. terbukti kemudian, selama lebih dari dua puluh tahun, kekuasaan Belanda di Aceh terbatas pada daerah yang relatif kecil di sekitar Kutaraja, yang harus dipertahankan dengan harga yang sangat mahal dari serangan terus menerus oleh pejuang Aceh, yang melancarkan perang gerilya.
Belanda kian jengah, sementara kekayaan mereka terus terkuras entah sampai kapan, demi daerah yang sangat menjanjikan ini.
Hingga datanglah seorang mayor yang sangat ambisius dan percaya diri yang telah mengabdi di Aceh selama bertahun-tahun, van Heutz (1851-1924), pada tahun 1893, mengusulkan cara-cara penyelesaian peperangan dengan lebih ofensif: inisiatif serangan kali ini berada di serdadu Belanda.
Ketika pada akhirnya van Heutz diangkat menjadi gubernur sipil dan militer untuk Aceh pada tahun 1898, ia juga menunjuk Snouck Hurgronje sebagai penasihatnya. Dalam masa ini, satu demi satu perlawanan pejuang Aceh berhasil dibungkam. Dengan mengadopsi metode yang sama seperti yang dilakukan pejuang Aceh.
Setelahnya, Aceh menjadi ladang pembantaian oleh Belanda. Namun Aceh juga ironi. Karena setiap serdadu Belanda yang datang ditugaskan di Aceh, sama saja mereka sedang menggali kuburannya sendiri.
Aceh tak pernah menyerah. Pejuang-pejuangnya tetap membakar diri dalam semangat perlawanan. Mati satu tumbuh seribu, menjalar dan mengakar. Belanda merasa berat mencabut akar perlawanan Aceh, terlalu panjang dan melelahkan. Bahkan tak pernah merasa sejuk dan nyaman, karena bara perlawanan tetap membara.
Sumber tulisan:
- Alfian, Ibrahim. 1987., Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
- https://www.historischnieuwsblad.nl/de-meedogenloze-strijd-van-nederland-in-atjeh/
- Doup, A., Gedenkboek van het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden. Medan.
- Panitia Kerja Penerbitan Buku Lukisan Sejarah Aceh,. 1977. Dutch Colonial War in Aceh., Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.