Kisah Hatta, Manusia Jam
February 2, 2022Rahmah El-Yunusiyyah, Ibu Pendidikan Indonesia
April 19, 2022Kisah Cucu Pertama Hatta
Tiga kotak besar bukan berisi kue atau donat. Ada sekitar 200 buku dalam tiga kotak itu. Mohammad Hatta (1902-1980) menyiapkannya untuk cucu pertamanya, Sri Juwita Hanum.
Sebelum lahir, nama sang cucu telah disiapkan. Bahkan, ketika bayi itu keluar dari rahim ibunya, Hatta yang melantun takbir. Meutia Farida Hatta, anak pertama Hatta, melahirkan ketika sang suami sedang bertugas di luar negeri. Ia lantas melesat dengan pesawat dan tiba di rumah sakit. “Selamat Edi, atas kelahiran si kecil,” Hatta menyalami suami Meutia, Sri Edi Swasono.
Hatta yang telah berusia 73 tahun tampak bahagia. Raut mukanya lebih bersinar. Hanum telah disambut dengan ratusan buku. “Banyak di antaranya terbitan almarhum Pak Oejeng. Tidak ketinggalan sebuah kamus Bahasa Indonesia karangan Poerwodarminto ditulis dan ditandatangani beliau ‘untuk cucunda Hanum’,” terang Sri Edi Swasono dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 93).
Berbicara Hatta dan buku telah menjadi biasa. Namun, menyiapkan cucu yang belum bisa membaca sama sekali dengan buku-buku merupakan hal luar biasa. Seperti ketiga anak kandungnya yang merasakan dampak pemberian buku dari sang ayah, sekitar 200 buku itu kelak akan bermanfaat pula bagi sang cucu. Ketika Hanum telah besar, buku-buku itu akan dibaca. Namun, takdir berkata lain. Sebelum 200 buku itu asyik dibaca, Hanum telah pergi.
Kisah cucu pertama Hatta jarang diceritakan. Tulisan ini akan menceritakan ulang kisah sang cucu pertama Hatta berdasarkan penuturan Sri Edi Swasono dan Meutia Farida Hatta. Ayah dan ibu Hanum yang juga tak menyangka kejadiannya akan secepat itu.
Mari kita simak penuturan ayah Hanum yang tertuang dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 92-93):
“Sebelum saya tiba, ketika itu Bung Hatta telah membicarakan nama untuk si cucu ini. ‘Sri Duwit bukan nama yang baik,’ kata beliau. Beliau khawatir, benar-benar saya memberi nama atau panggilan Sri Tuit untuk anak saya, sebagaimana sering saya kelakarkan. Nama ini kedengaran bagi Bung Hatta sebagai Sri Duwit. ‘Ratna Juwita adalah nama yang indah untuk seorang anak perempuan,’ kata beliau kepada Meutia. Akhirnya jadilah namanya Sri Juwita Hanum. Sri dari ibu saya, Juwita dari Bung Hatta dan Hanum dari istri saya yang kagum akan tokoh Islam Halide Edib Hanoum. Nama Halide telah diambil untuk adiknya, sekarang Hanoum-nya diambil untuk anaknya.”
Sri Edi Swasono melanjutkan, “Kami tahu betapa cucu ini berarti sekali untuk Bung Hatta, kami menghibur beliau dengan membawa Hanum datang ke Jalan Diponegoro. Boleh dikatakan hampir tiap hari, sejak Hanum belum dapat tengkurap sendiri sampai pada saat-saat terakhir Bung Hatta. Jika ia datang kepada kakeknya (yang dipanggilnya Datuk), selalu disambut oleh sang Datuk dengan kata-kata, ‘Uik, Hanum manis.’ Lalu diciumnya anak itu. Mengenai hal cucu, saya kira Bung Hatta tidak banyak berbeda dengan orang lain. Belum pernah saya melihat Bung Hatta marah sampai membentak, kecuali sekali itu kepada saya, yaitu ketika saya sedang memarahi Hanum yang nakal, sampai anak ini menangis. Ibu Rahmi pun tidak akan bisa lupa akan kemarahan Bung Hatta itu. Saya masih ingat, betapa sang Datuk dekat dengan cucu pertama ini. Ketika Bung Hatta sakit keras pada tahun 1976, beliau mengigau, ‘Ayah dan Juwita mau ke Jeddah, Ayah akan bawa dia ke Jeddah’. Itulah sebabnya saya bawa Hanum ikut umrah baru-baru ini selepas 40 hari wafatnya Bung Hatta. Saya bawa pesan beliau 4 tahun yang silam, siapa tahu igauan beliau itu keluar dari bawah sadar beliau, ungkapan kasih sayang beliau kepada turunannya, yang akan bermakna bagi dunia akhiratnya. Saya umrahkan anakku ini, kutuntun, terkadang kupanggul sewaktu thawaf dan thawaf widanya. Saya amati betul apakah pada setiap putaran ia sempurna membaca Robbanaa aatinaa fiddun-ya hasanatan wafil-aakhirati hasanatan waqinaa ‘adzaabannaar. Ia pun kami ajari duduk bersimpuh di depan makam Ibrahim a.s. membaca Al Fatihah yang telah ia hafal luar kepala sejak ia berumur 2 tahun, untuk arwah datuknya. Kuciumi anakku di situ di depan Ka’bah, keluar dari mulutku, ‘Ya Allah, jadikan anakku manusia yang soleh, manusia yang berguna untuk agama, negara dan bangsanya.'”
Hatta memang sayang terhadap cucu pertamanya yang lahir pada 14 Desember 1975 itu. Ketika usia delapan bulan, Hanum dibawa Hatta ke Bukittinggi. Cucunya itu juga diperlihatkan kepada Maktuo Halimah, kakak Hatta lain ibu, di Batuhampar.
Meutia dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015: 75) menerangkan ketika Hanum sudah bisa berjalan dan berlari benar-benar bisa menjadi teman Hatta. “Entah apa yang diobrolkannya bersama datuknya, yang ketika itu sudah mulai sakit-sakitan dan jarang pergi ke luar. Meski demikian, kehadiran Hanum selalu menyenangkan Ayah. Pada suatu hari kami datang ketika Ayah sedang membaca buku di depan meja tulisnya. Rupanya Hanum kecewa karena datuknya tidak melihatnya datang. Maka berteriaklah ia keras-keras, ‘Datuuuuuk!!’ Ayah terkejut, tetapi langsung tersenyum gembira, ‘Eee, Hanum anak manis!’ Sementara itu saya menegurnya keras karena telah mengejutkan datuknya. Dengan cepat Ayah menukas, ‘Tidak, biar saja, Ayah tidak apa-apa.'”
Dari penuturan Meutia, Hanum bisa dikatakan tumbuh sebagai anak yang tak hanya pandai dan selalu ceria, tetapi juga tampak bijak. Tulisannya sangat bagus, bahkan sudah bisa membaca tulisan Arab dan hafal beberapa ayat dari Juz ‘Amma. Seusia itu sudah belajar salat dan sudah ikut berpuasa beberapa kali. “Kami membayangkan Hanum,” ujar Meutia dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015: 78), “mempunyai masa depan yang gemilang berkat kepandaiannya itu.”
Kedekatan dan rasa sayang Hatta dan Hanum hanya bisa dirasakan mereka berdua. Ketika usianya belum genap lima tahun, Hanum harus kehilangan kakeknya. Hatta meninggal dunia pada 14 Maret 1980. Mungkin Hanum belum bisa merasakan suasana sedih orang-orang di sekelilingnya. Hanum menampakkan ekspresi yang hanya dimengerti dirinya.
“Ketika banyak orang datang melayat, ia bermain sendiri dan tampak marah, sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Laporan yang saya terima, Hanum juga menarik rambut seorang pelayat. Saya kaget karena tak pernah hal itu dia lakukan. Saya tidak tahu akan kejadian itu karena sedang sibuk menerima pelayat bersama Ibu dan adik-adik. Mungkin ada suatu kekuatan emosi yang menyebabkannya marah, padahal biasanya dia sangat manis jika ada tamu di rumah. Ia menjadi marah, mungkin karena shock mendengar Datuk yang sayang kepadanya itu tidak akan bangun lagi dari tempat tidurnya,” tutur Meutia dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015: 77).
Hanum tak bisa lagi menatap, memeluk, dan mencium kakeknya. Dari penuturan Sri Edi Swasono di muka, Hanum dibawa turut umrah setelah 40 hari wafatnya Hatta.
Sekitar tiga setengah tahun dari wafatnya Hatta, Hanum dibawa orangtuanya ke Yogyakarta. Di sebuah kolam renang, cucu pertama Hatta itu tenggelam. “Prosesnya berjalan cepat sekali. Semua berduka. Ibu saya adalah yang paling berduka karena beliau sudah lama tidak bertemu dengan Hanum walaupun tinggal di Jakarta. Ada saja yang menunda kami membawanya main ke Jalan Diponegoro 57, dan Ibu pun selalu menunggunya sambil menjalankan kesibukan rutinnya. Sama sekali tak mengira bahwa akan ada musibah besar datang menghadang. Ibu tidak lagi sempat melihatnya, membuatnya bukan hanya sedih, tetapi juga sakit hati terhadap keadaan itu. Cucu perempuannya hanya satu, tidak sakit, tidak sempat dipeluk, juga tidak pamit ke Yogya tiba-tiba meninggal di sana. Tiba di rumah sudah dalam peti mati, dalam kain kafan. Tak sempat dipeluk dan dicium sepuas-puasnya. Rasa sakit hati itu menyebabkan Ibu harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ayah seandainya beliau masih hidup dan menghadapi kematian cucunya,” terang Meutia dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015: 77-78).
Kejadian yang menimpa Hanum terjadi pada 7 Oktober 1983. Hanum tak sempat menamatkan 200 buku yang dihadiahkan kakeknya saat lahir. Ia dimakamkan keesokan harinya di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta. Hanum, sang cucu, menjadi orang pertama yang menemani Hatta di makamnya. Kurang dari 16 tahun kemudian, sang nenek Rahmi Rachim menyusul Hanum. Wallahu a’lam.(Hendra Sugiantoro).