Benteng-Benteng Surabaya

Ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) dikirimkan ke Hindia Belanda pada tahun 1807, ia bertindak sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan Napoleon Bonaparte. Daendels diserahi tugas utama untuk melindungi Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris, sebab Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris.

Di tahun 1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun1806, armada kecil Inggris di bawah Laksamana Pellew sempat muncul di Gresik dan hampir mendarat di Surabaya. Dengan segera Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi armada Inggris.

Untuk menghadapi kedatangan Inggris, Daendels memperkuat barisan tentara Belanda dengan merekrut orang-orang pribumi. Ia pun membangun sejumlah rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Daendels juga membangun sebuah pabrik senjata di Surabaya, pabrik meriam di Semarang, dan membangun sekolah militer di Batavia.

Di Batavia, kastil dihancurkan dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di Surabaya, dibangunnya Benteng Lodewijk. Selain itu ia juga berhasil merampungkan proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos (Pos Weg), yang dibangun guna mendukung kemampuan gerak cepat logistik dan tentara-tentaranya. Daendels memiliki visi seperti penguasa-penguasa Jawa sebelumnya, yaitu Surabaya harus dipertahankan dan dikembangkan menurut potensi pentingnya sebagai kota pelabuhan modern dan pangkalan angkatan laut.

Untuk itu, Daendels merobohkan dinding pertahanan kota dan Benteng Belvedere peninggalan VOC, lalu sebagai gantinya ia membangun pulau Benteng Menarie atau Benteng Lodewijk di Gresik dan Benteng Kalimas. Selain itu, Daendels juga melakukan pembangunan lain seperti membuat sebuah komplek garnisun dan tangsi militer besar di Djotangan, yang kini menjadi Polwiltabes Surabaya.

Di sisi utara, Daendels membangun workshop militer yang dinamakan ACW (Artillerie Constructie Winkel), tempat di mana senjata-senjata berat diproduksi. Dan, tak jauh dari ACW, dibangun pula Penjara Kalisosok yang masih berdiri hingga sekarang. Kemudian di kawasan Simpang, dibangunnya sebuah rumah singgah yang kini dikenal dengan nama Gedung Grahadi atau rumah dinas Gubernur Jawa Timur, serta sebuah rumah sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) yang kelak berubah nama menjadi Rumah Sakit Simpang sampai akhirnya dihancurkan dan berganti menjadi sebuah tempat perbelanjaan.

Selanjutnya, fase penting perkembangan Kota Surabaya adalah setelah redamnya Perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Jawa (1825-1830). Pada era ini kota didesain tetap sejalan dengan rancangan Daendels, yakni pusat komando militer laut dan darat tetap direncanakan berada di Kota Surabaya. Kepemimpinan di masa ini dipegang oleh Gubernur Jenderal J. Count van den Bosch (1830-1833).

Di Surabaya, kekuatan militer darat dirancang untuk mampu mengontrol seluruh kota di Jawa Timur. Dinding sepanjang, sekokoh dan semahal itu, dihancurkan begitu saja dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun dikarenakan teknologi perang telah berkembang sangat cepat dan signifikan. Alhasil, dinding pertahanan tersebut dirasakan tidak efektif dan hanya membuang dana operasional serta menguras tenaga kerja. Pemugaran benteng pun dilakukan dan mengadakan pembaharuan sistem pertahanan kota yang lebih modern.

Surabaya kemudian menjadi seperti mimpi awal yang dulu pernah dimiliki Daendels. Ia hendak membangun sebuah kota Eropa yang maju dengan pelabuhan besar di mana para pelaut Eropa dapat mengangkut hasil bumi Nusantara dan mendapatkan keuntungan besar serta terasa bagai tinggal di tanah air sendiri. Kota yang dirancang dengan segala kenyamanan dan juga keamanan. Sebab, lokasinya dipilih karena terlindung dari laut bebas dengan akses masuk yang cukup sempit melalui Selat Madura.

Di awal tahun 1900-an sistem pertahanan kota kembali diperbaharui sesuai dengan jamannya. Surabaya sudah tidak lagi menggunakan sistem pertahanan dinding kota yang mengelilingi titik-titik vital. Sistem pertahanannya kemudian diubah menjadi sistem pertahanan yang memanjang mengikuti garis pantai untuk menyesuaikan pola morfologi Surabaya sebagai kota pelabuhan.

Untuk melindungi Surabaya, diadakan penempatan baterai, benteng, serta meriam-meriam di sepanjang jalur masuk yakni pada sisi Kota Surabaya maupun Pulau Madura. Benteng-benteng ini tidak pernah disebutkan atau ditulis dalam peta kota yang dimiliki oleh masyarakat umum karena tergolong classified, amat rahasia.