Sarekat Islam: Priyai, Komunis, dan Partij Discipline!
March 5, 2019Grand Old Man of Republilc
March 8, 2019Zaman Perang
Dua puluh delapan cerita perjuangan orang Indonesia yang ditulis oleh Hendi Jo dalam buku ini adalah sumbangan orang-orang biasa di tengah peristiwa luar biasa. Dan, barangkali benar kata Hendi Jo, rupanya kita memang belum bisa menjadi bangsa yang besar. Kita miskin pengetahuan terhadap pahlawan sendiri. Jangankan menghargai, mengenal pun tidak.
Banyak orang menyebut tema ini sebagai petite histoire. Sejarah kecil. Peristiwa-peristiwa yang tidak menjadi fokus utama dan nyaris tidak tertulis di panggung sejarah. Tetapi, apakah perkara-perkara kecil dalam sejarah bisa diremehkan begitu saja? Tentu tidak!
Justru dari hal-hal kecil itulah kita bisa mengenali bahwa kebesaran sejarah, berikut baik dan buruknya, dijalankan oleh manusia biasa, bukan oleh manusia super atau titisan dewa. Laiknya bangsa-bangsa lain yang pernah ditindas, Indonesia memiliki kegagahan yang khas.
Anda tentu paham bagaimana orang-orang Eropa menganggap warga bumiputera sebagai ras bodoh yang tidak bermutu. Tetapi, anggapan ini terbantahkan ketika orang-orang yang disebut vuile inlander (pribumi tolol) ternyata sanggup membajak De Zeven Provincien, kapal perang paling modern di zamannya yang menjadi kebanggaan Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda).
Sebelumnya, para perwira kapal sudah berceloteh, “babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal, sedangkan sebelah kanan kapal saja mereka tidak bisa membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar!”. Hal ini benar-benar pernah terjadi di Indonesia.
Juga, tentu saja sulit untuk dipercaya apabila di era revolusi Indonesia, seorang Jenderal bisa menjadi bawahan seorang Letnan Kolonel.
Mayor Jenderal drg. Moestopo suatu hari melapor kepada atasannya, Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, bahwa kopornya telah hilang. Mendengar laporan tersebut, alih-alih terkejut, Bratamanggala justru tertawa terbahak-bahak. Karena ia yakin yang mencuri kopor Pak Moestopo itu justru anak buah sang jenderal sendiri dari pasukan BM (Barisan Maling).
Sebagai sorang jurnalis, Hendi Jo membiasakan dirinya hidup di dalam berbagai perjalanan. Dan, di tengah perjalanan-perjalanannya itu, ia selalu menyempatkan diri untuk menyusuri jalan-jalan kecil sejarah bangsa ini. Ia pun merenungi dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan yang fokusnya diabaikan oleh buku-buku sejarah pada umumnya.