Thamrin dan Bahasa Indonesia Dalam Volskraad
May 17, 2019Bung Karno Menyelamatkan Tentara Inggris
May 23, 2019Gerakan Mahasiswa Terhadap Kekuasaan
“Hanya Tuhan yang boleh tindas kami, itupun kalau Dia mau”
Selama dasawarsa pertama Orde Baru (Orba) berkuasa, setidaknya terdapat tiga peristiwa di mana mahasiswa menjadi penggerak utama untuk melakukan kritik dan protes apabila terjadi keganjilan dalam kekuasaan pemerintahan. Peristiwa-peristiwa tersebut sekaligus sebagai penanda kerenggangan relasi antara mahasiswa dan tentara yang sebelumnya harmonis.
Bisa disebutkan bahwa taring Orba mulai ditunjukkan saat menghadapi beberapa momentum pergerakan mahasiswa, yaitu gerakan Golongan Putih (Golput) tahun 1971 untuk menentang kecurangan Golkar, gerakan protes tahun 1972 terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggusur pemukiman rakyat miskin, gerakan menolak kenaikan harga beras pada tahun 1973. Puncaknya pada tahun 1974, di mana melutus peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari).
Menjelang dan pada awal tahun 1974, pemerintah kemudian memberikan “judgement” kepada setiap gerakan mahasiswa sebagai bagian dari konspirasi dan makar. Secara tidak langsung judgement ini memberikan legitimasi kepada kekuasaan pemerintahan untuk menjalankan treatment atau penanganan dengan cara-cara represif.
Dalam konteks ini secara tidak langsung di kalangan mahasiswa berkembang pemahaman regeneratife bahwa ketika kekuasaan sudah semakin absolut dan otoriter maka itu tidak cukup dikritik atau dikoreksi tetapi juga harus diganti. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’.
Selain rangkaian aksi yang dijalankan itu, setidaknya ada dua insiden yang menjadikan gerakan mahasiswa memiliki persepsi berkelanjutan itu, antara lain ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’ (Malari). Setelah tahun 1974 hingga 1978, terlihat bahwa aksi mahasiswa, khususnya di Bandung, sampai pula kepada tuntutan-tuntutan untuk mengganti Soeharto.
Awal 1978, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, yaitu membubarkan Dewan Mahasiswa ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Dalihnya pembubaran itu diduga kuat setelah keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978, yang menyatakan tidak setuju kursi presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama.

Tentara di kampus ITB.
Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: “Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia”, “Turunkan Suharto” dan lain sebagianya, termasuk menuntut pembebasab segera mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.
Bersamaan dengan itu pula gerakan mahasiswa ini juga menerbitkan sebuah buku yang dinamakan “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978”. Juga menyerukan suatu mogok kuliah melalui “Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis” (28 Januari 1978). Buku Putih itu berisikan data-data dan kajian fakta termasuk dengan ide serta pemikiran-pemikiran untuk perbaikan bangsa.
Namun, gerakan moral ini akhirnya juga harus “digebuk” dengan kekerasan melalui operasi pendudukan kampus ITB oleh tentara.
Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan juga terhadap Dewan Mahasiswa yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP, namun sasaran utamanya adalah ITB.
Pendudukan yang dilakukan oleh tentara itu diwarnai dengan berbagai macam intimidasi dan terror, tak sedikit pula menggunakan kekekerasan. Pendudukan ini telah menambah daftar luka traumatik dalam sejarah. Pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan.
Juga merupakan ironi bahwa peristiwa ini terjadi di wilayah Kodam Siliwangi yang perwira-perwiranya dari waktu ke waktu secara historis memiliki kedekatan dengan mahasiswa. Pangdam Siliwangi ketika itu adalah Mayjen Himawan Sutanto. Namun garis hierarki tak bisa ditolak, dia tak berkutik menghadapi perintah dari Jakarta.
Referensi :