Letkol dr. Wiliater Dalam Kenangan Seorang Prajurit
May 19, 2017A.M Sangaji Si Jago Tua
May 20, 2017Peristiwa Merah Putih dan Kudeta KNIL
Peristiwa itu bermula pada pembicaraan antara L.N Palar dengan Dr. Sam Ratulangi, sebagai Gubernur Sulawesi, yang ketika itu berada di Makassar. Dalam percakapan itu, Palar memberitahukan kepada Dr. Ratulangi soal provokasi Belanda terhadap perjuangan kemerdekaan RI. Pihak Belanda menyebutnya sebagai ‘Aksi Separatisme’ di Jawa.
Dr. Ratulangi lalu melanjutkan hasil percakapannya itu. Kemudian ia menulis pada sehelai kertas bungkus rokok dan menitipkannya kepada Nona Politon. Nona Politton lalu membawa titipan tersebut lewat kapal laut dari Makassar sampai di Minahasa, beberapa kali ia lolos dari pemeriksaan dan pengejaran NEFIS (Dinas Intelijen Angkatan Bersenjata Belanda), karena surat tersebut disimpannya di pakaian dalam (bra) Nona Politon.
Nona Politon perempuan asal Tondano, yang membawa surat dari Dr. Sam Ratulangi yang ditujukan kepada pemuda-pemudi di Minahasa agar mengikuti jejak perjuangan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jawa dan berjuang melawan Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.
Hingga akhirnya muncul sebuah berita yang mengejutkan:
“Pada tanggal 14 Februari 1946, terjadi di Manado suatu perebutan dari Pemerintah Belanda (NICA-KNIL) yang dilakukan oleh sejumlah pemuda KNIL di bawah pimpinan Taulu yang berpihak pada Pemerintah Republik Indonesia. Aksi dimulaikan pada jam 01.00 tengah malam dengan menangkap komandan garnisium Manado Kapten Blomdan dan opsir-opsir Belanda lainnya…”
Berita itu disiarkan secara berganti melalui broadcasting dan telegrafi dengan panggilan S-O-S oleh Dinas Penghubung Militer dari Manado, ditangkap dan diteruskan oleh kapal peronda Sekutu dari Australia S.S. LUNA ke Allied Head – Quarters di Brisbane.
Dan, oleh Radio Australia dijadikan berita serta selanjutnya disebarkan oleh BBC London dan Radio San Fransisco.
Sedemikian mengguncangnya pukulan itu, pihak Sekutu sampai menganjurkan tawaran berunding. Karena Belanda sudah dianggap tidak legitimasi, sudah ditawan. Dan, karena Sekutu adalah gabungan sejumlah negara penguasa dunia, maka tak salah bila sikap mereka terhadap gerakan pro Republik Indonesia 14 Februari di Sulawesi Utara itu sebagai pengakuan multilateral.
Pasca Peristiwa Merah Putih itu, pihak Sekutu menawarkan perundingan dengan pihak Republik. Lapian bersama Sersan Mayor Ch. Taulu menjadi perwakilan RI dalam perundingan itu. Dalam perundingan di atas kapal Sekutu SS El-Libertador, pada 24 Februari 1946, di lepas Pantai Manado, Lapian meminta penurunan bendera Belanda di kapal Sekutu itu.
Kelak ini menjadi salah satu peristiwa yang dijadikan L.N Palar untuk mematahkan pendapat para politisi Belanda, selain aksi penganiayaan dan pembunuhan tawanan di Klender dan Pesing, pada April 1946. Meskipun Jenderal Spoor mengatakan dengan apa yang disampaikan L.N Palar sebagai “Kebohongan yang dikarang-karang dan dilebih-lebihkan oleh propaganda Republik”.
Namun ini kemudian menjadi perdebatan yang sengit dalam majelis rendah Belanda.
Referensi: buku LN Palar, Diplomat Legendaris Indonesia, Yogyakarta: Matapadi Pressindo.