TRAGEDI DOKTER WIRORENO
May 13, 2023Buku Batalyon-Batalyon Bentukan Belanda Dalam Perang Belanda di Indonesia (1945-1950)
June 15, 2023Alex Evert Kawilarang adalah legenda Divisi Siliwangi. Sejak meniti karir sebagai tentara, Kawilarang sudah membuktikan pengabdiannya yang tak terbatas untuk divisi yang membesarkannya itu. Ketika awal Perang Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949) meletus, nama Kawilarang sudah dikenal masyarakat Sunda di wilayah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi, kendati dirinya adalah seorang Minahasa yang beragama Kristen.
“Pak Kawilarang itu orangnya jujur, baik, dan tegas,” ujar almarhum Kopral Dua (Purn) Satibi, bekas anak buah Kawilarang di Sukabumi dan Cianjur.
Kejujuran dan ketegasan Kawilarang pernah dibuktikan pada pertengahan tahun 1946. Ceritanya, saat itu Kawilrang menjabat sebagai kepala staf Resimen Bogor dengan pangkat mayor. Suatu hari, ketika pasukannya mengobrak-abrik bekas markas tentara Jepang di Pondok Gede (masuk wilayah Lido, Bogor Selatan), tetiba seorang anak buahnya melaporkan adanya onggokan bekas galian tak jauh dari markas yang sebenarnya bekas pabrik karet itu.
Mayor Kawilarang kemudian memerintahkan Sersan Mayor Sidik, beberapa anggota Polisi Tentara, seorang pegawai perkebunan, dan dua penduduk setempat untuk menggali tumpukan tanah itu. Belum satu meter tanah itu digali, tetiba mereka melihat suatu benda yang mirip bom. Kontan mereka berloncatan takut “bom” itu meledak.
Namun ketika diamati, benda itu ternyata sebuah guci besar. Singkat cerita, dibukalah guci itu. Alangkah kagetnya ketika di dalam guci itu mereka menemukan beberapa kaos kaki yang isinya ternyata emas, permata, dan berlian.
Untuk mencegah keributan, Kawilarang langsung membawa guci harta karun tentara Jepang itu ke markas lalu menyimpannya di atas tempat tidurnya. Dia lantas memerintahkan anak buahnya untuk menjaga temuan berharga itu selama 24 jam.
Keesokan harinya, beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat Cigombong datang menemui Kawilarang. Mereka menyatakan lebih baik harta karun itu diserahkan saja kepada mereka untuk kepentingan perjuangan.
“Bapak-bapak ini benar mau berjuang?” tanya Kawilarang. Tamu-tamu itu mengangguk tegas.
Kawilarang lantas pergi ke belakang. Dia membawa dua peti granat made-in Panumbangan (pabrik senjata Republik di Sukabumi).
“Ini buat berjuang,” ujarnya singkat. Alih-alih menjadi gembira, para tamu malah bengong dan terpaksa menerima dua peti granat tersebut.
Atas saran Residen Bogor, Moerdjani, Kawilarang kemudian menyerahkan harta karun itu kepada Kementerian Dalam Negeri. Dengan dikawal empat anak buahnya yang terpercaya, guci berisi emas, permata, dan berlian tersebut diberangkatkan ke Purwokerto. Saat itu kedudukan Kementerian Dalam Negeri RI berada Di Purwokerto, Jawa Tengah.
“Yang menandatangani surat penerimaan guci itu adalah Mr. Sumarman, Sekretaris Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Alex Kawilarang dalam biografinya: Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan K.H.).
Sayangnya surat tanda terima itu, kata Kawilarang, sudah musnah terbakar sewaktu militer Belanda melakukan pemboman (dalam rangka Operasi Produk atau Agresi Militer Belanda I) ke markasnya di Panumbangan.
Peristiwa itu cukup membuktikan bahwa Kawilarang bukanlah tipe perwira yang ingin memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi.
Lalu bagaimana nasib harta karun itu? Hingga kini keberadaannya tak pernah jelas.
Namun pada Agsutus 1972, majalah Mimbar, sebuah majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, pernah menurunkan hasil investigasi mereka mengenai keberadaan harta itu. Kendati penggunaannya tidak disebutkan, dokumen-dokumen di Kementerian Dalam Negeri mengonfirmasi penerimaan sebuah guci berisi 7 kg emas, permata, dan berlian, yang ditemukan di Kompleks Perkebunan Pondok Gede, Bogor pada tahun 1946.
Jika diuangkan dengan kurs Rupiah pada tahun 1972, menurut majalah Mimbar, total harta karun tersebut berjumlah Rp. 5.743.000.000. Dan, jika dihitung dengan kurs Rupiah hari ini (2022) jumlahnya mencapai 718,5 milyar. (Hendijo).