Masa-Masa Awal Terbentuknya TNI
May 18, 2017Peristiwa Merah Putih dan Kudeta KNIL
May 20, 2017Letkol dr. Wiliater Dalam Kenangan Seorang Prajurit
Pada suatu sore hari di akhir tahun 1946 dari front – sebutan untuk garis depan di masa itu – Wijoyo Suyono harus meninggalkan Desa bernama Legundi untuk berurusaan dengan Markas Divisi yang berlokasi di Selorejo, sebelah timur kota Mojoagung. Ia menanti tumpangan kendaraan cukup lama sampai akhirnya datang sebuah mobil yang penumpangnya menawari untuk ikut.
Melihat penumpang dalam mobil tersebut adalah seorang letnan kolonel, Wijoyo Suyono yang berpangkat kapten langsung menghormat. Tak berselang lama dirinya diperintahkan duduk berdampingan di dalam mobil. Yang berpangkat letnan kolonel ini adalah dr. Wiliater Hutagalung, Dokter Divisi.
Perjalanan membawa mereka melewati kota Mojoagung, belok kiri melalui jalan kelas 2 menuju Selorejo, lokasi Markas Divisi. Saat melewati sebuah belokan, mendadak dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi sebuah truk tentara yang hampir saja menghantam mobil mereka.
Atas kejadian itu, dr. Williater segera memerintahkan pengemudinya berbalik arah dan mengejar truk tersebut. Ketika berhasil tersusul, dr. Williater memerintahkan pengemudi truk itu turun dari kendaraannya.
Berdiri di sebelah dr. Wiliater, yang Wijoyo dengar hanyalah sebuah percakapan singkat. Dan yang terjadi selanjutnya adalah pukulan bertubi-tubi ke muka sang pengemudi truk itu.
Memang bukan sebuah kesalahan ringan bila seorang pengemudi truk tentara bertingkah ugal – ugalan tanpa menghiraukan keselamatan umum sehingga bisa berakibat hilangnya nyawa orang.
Namun, cara dr. Williarter menyelesaikan masalah itu di lapangan membuat Wijoyo yang masih naif, befikir bahwa seharusnya beliau tidak bertugas di Kesehatan Divisi, tetapi lebih tepat untuk memegang pimpinan atas sebuah Resimen.
Di kemudian hari, Kapten Widjojo mengetahui bahwa Letkol dr. Wiliater Hutagalung dan seorang kakaknya, Letkol drh. Suwondo yang tergabung dalam Divisi VII/ Untung Surapati sama-sama dilahirkan pada tahun 1910. Yang pertama lulusan Nederlands Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya dan yang kedua Lulusan Veeartsen School di Bogor.
Keduanya merupakan representasi dari satu lapisan senior pendiri Tentara Nasional Indonesia di daerah yang terpelajar. Sikap anti kolonialisme dan perjuangan untuk kemerdekaan telah mereka mulai bahkan sejak masa kemahasiswaan mereka.
Dari tulisan-tulisan yang ditinggalkaan Letkol dr. Wiliater Hutagalung, di kemudian hari Wijoyo memahami bahwa dari Divisi VI Narotama yang kemudian menjadi Divisi I Brawijaya, Wiliater pindah tugas ke Divisi II dan seterusnya ke Markas Besar TNI.
Sebagai Perwira Staf, dr. Williarter sangat mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan pimpinan yang pelaksanaannyapun dikawal oleh dia sendiri dengan sebaik-baiknya.
Seperti dalam hal penyusunan awal Organisasi Teritorial dalam rangka Sistem Perang Wilayah, Serangan Umum 1 Maret, pelaksanaan Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah Jawa Tengah dan di sekitar pelaksanaan penarikan Tentara Belanda keluar Indonesia.
Selisih usia 9 tahun dengan Ir. Sukarno, seperti halnya dengan kakak saya drh. Suwondo, dr. Williarter bisa lancar berkomunikasi dengan Bung Karno. Jalinan komunikasi lainnya juga berlangsung secara luas dengan para pimpinan nasional dari berbagai golongan politik dan ideologi pada era itu.
Wijoyo Suyono sendiri seorang purnawirawan dengan pangkat empat bintang di pundaknya. Dirinya mengawali karir dan pengabdiannya di dunia kemiliteran, TNI, melalui pendidikan perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di masa akhir pendudukan tentara Jepang sebagai Shoodancho, pangkat setara Perwira Pertama pada 1 Juni 1945.
Selanjutnya, ketika PETA dibubarkan pada 19 Agustus 1945, dan membawanya bergabung dengan seorang senior bernama Suharjo, mantan Chudancho yang membangun Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Kota Surabaya, tepatnya di bekas gedung Hogere Burger School (HBS) yang terletak di jalan yang kini disebut Jalan Wijaya Kusuma, dan merupakan cikal bakal dari Resimen 1 Divisi VI di kemudian hari. Dengan mengaku setahun lebih tua, sesungguhnya Wijoyo ketika itu baru berumur 17 tahun dan mendapatkan tugas di Staf Resimen.
Akhir tahun 1946, dengan selesainya penarikan Tentara Inggris keluar wilayah Indonesia, Perang Mempertahankan Kemerdekaan melawan agresi Belanda masih berbentuk linier frontal. Selain itu kekuatan bersenjata dari Laskar Kejuangan Bersenjata, kekuatan Tentara Republik Indonesia di Jawa Timur terdiri atas tiga divisi yaitu; Divisi V Ronggolawe, Divisi VI Narotama dan Divisi VII Untung Surapati.
Front dari Divisi VI Narotama yang menghadapi kekuatan utama tentara Belanda di wilayah Surabaya merupakan garis melingkar dari timur Gresik ke sebelah utara Krian, yang selanjutnya berakhir di Porong.
Divisi ini terdiri atas tiga Resimen dan Resimen I yang memang didirikan sejak awal di kota Surabaya mendapatkan porsi terbesar dari tugas pertahanan. Keadaan ini berlangsung sebelum nama Tentara Republik Indonesia (TRI) diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai 3 Juni 1947.
Resimen 1 ini membawahi 4 batalion yaitu Batalion 1 pimpinan Mayor Masduki Abudardak, Batalion 2 pimpinan Mayor Bambang Juwono, Batalion 3 pimpinan Mayor Samekto Kardi dan Batalion 4 pimpinan Mayor Ishak Edris. Letnan Kolonel Surachman sebagai pimpinan Resimen yang terluka diwakili oleh Mayor Kadim Prawirodirdjo untuk jangka waktu cukup lama.
Di lokasi berbeda Mayor Masdoeki Abudardak, Mayor Samekto Kardi, Mayor Dr. Hadiono dan dua orang Komandan Kompi Batalyon 1 yaitu Letnan Satu Soedjito dan Letnan Satu Trihadi gugur bersamaan dalam sebuah serangan besar Tentara Belanda pada awal tahun 1947. Para Komandan Kompi itu baru berumur 19 tahun, para Komandan Batalyon sekitar 22 tahun sedangkan Mayor Dr. Hadijono yang paling senior baru berusia 28 tahun.
Wijoyo mengenang, bahwa banyak senior dalam TNI yang memegang teguh prinsip-prinsip yang diyakininya sebagai kebenaran. Namun, hanya Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang setahu Wijoyo memutuskan untuk meninggalkan TNI karena tidak dapat menerima Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai bentuk negara beserta Undang-undang Dasarnya yang disodorkan oleh pihak Belanda ketika Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949.
Namun, kelak melalui apa yang disebut Peristiwa 17 Oktober 1952, dimana sebagaian pimpinan TNI AD mendesak Presiden untuk menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang ditolak oleh Presiden, akhirnya Presiden Sukarno sendiri, pada tanggal 6 Juli 1955, mengeluarkan Dekrit untuk kembali memberlakukan Undang-Undang Dasar 1945.
Referensi: buku Autobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sumber foto dari koleksi keluarga Batara Hutagalung.