Islam dan Komunisme di Nusantara
May 30, 2017Agus Salim Ingin Orang Komunis Keluar
March 5, 2019Orang-Orang Kalah, Mohammad Natsir
Buya Hamka ingat betul kesan pertama bersua dengan Natsir. Hamka mengenang;
“Di waktu itu saya bertemu seorang pemuda sebaya saya, tetapi lebih tampan dari saya. Wajahnya tenang, simpatik, selalu senyum dan berkaca-mata. Tingginya sedang, sikapnya lemah-lembut. Apabila kita bicara dengan dia, butir-butir pembicaraan kita beliau perhatikan dengan seksama, kemudian bila beliau tidak setuju atau berlain pendapat, beliau nyatakan komentarnya, tampaknya sambil lalu, tetapi dengan tidak kita sadari, komentarnya itu telah menyebabkan kita harus meninjau pendapat kita tadi dengan seksama.”
***
Dua presiden telah membuatnya kalah – bisa jadi mengalah, dicekal dan dipenjara. Sukarno dan Suharto menuduh Natsir hendak memberontak. Namun, Natsir tidak lantas mendendam, sehingga menghalangi nilai kualitas persahabatannya sebagai sesama manusia.
Kualitas kepribadiannya luar biasa. Misalnya, dalam perdebatannya dengan Sukarno dan Aidit, soal orientasi politik. Natsir tetap melakukan pembelaan terhadap mereka dengan landasan kemanusiaan. Bahkan, Aidit, ketika menjadi lawan debat yang begitu panas di Majelis Konstituante tentang dasar negara, itu sama sekali tidak mengganggu keakraban saat makan sate ayam bersama. Sebab, bagi Natsir, berjuang dan berpolitik sama halnya dengan berdakwah. Yakni mengajak, bukan menyuruh.
Soal jalan politik yang dipilihnya, Natsir sangat konsisten. Natsir juga mendorong agar perjuangan diplomasi semestinya dijalankan pemerintah dengan tegas untuk menunjukan kedaulatan dan martabat bernegara. Pemikirannya tajam dan jauh ke depan.
Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan “Mosi Integral” dalam sidang pleno parlemen. Hatta, sebagai Wakil Presiden merasa terbantu dengan adanya mosi dari Natsir. Mosi ini juga yang memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat. Dan, ia pun dilantik menjadi perdana menteri pada 17 Agustus 1950.
Akan tetapi, setahun kemudian ia mundur dari jabatannya karena perselisihan paham dengan Sukarno. Sukarno menggunakan paham nasionalisme untuk mengkritik Islam sebagai ideologi, seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah. Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah berikut menunjukkan akibat-akibat negatif dari sekularisasi terhadap kehidupan bernegara. Natsir juga mengkritik Sukarno yang kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa.
Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Sukarno selaku presiden sekaligus ketua PNI terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota PNI di Parlemen agar menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Praktis selama era Demokrasi Terpimpin, Natsir terus terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan meninggalkan Pulau Jawa untuk bergabung dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). PRRI menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas yang disalahtafsirkan oleh Sukarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, lalu dibebaskan di masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Di awal Orde Baru, Natsir berperan dalam mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Selain itu, ia pula yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru dalam membangun ekonomi.
Pada tahun 1980, Natsir ikut menandatangan Petisi 50 bersama dengan Nasution, Hoegeng, Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, Burhanudin Harahap dan lain lain. Dalam petisi itu mereka menolak pemahaman bahwa Suharto merupakan pengejawantahan dari dasar negara Pancasila, sehingga tiap orang yang mengkritik Suharto bisa dianggap sebagai penentang Pancasila.
Natsir juga menolak kecurigaan Suharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Dan, Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Suharto juga ikut dikritisi oleh Natsir. Padahal, badan intel inilah dulu yang meminta Natsir agar memperbaiki hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Suharto.
Dalam keseharian, kesederhanaan dan keterbukaannya patut menjadi teladan, sehingga kemulian dan kebersehajaanlah yang tampak. Natsir, tak ambil pusing walaupun menjabat sebagai menteri jasnya tampak bertambal atau kantong kemejanya yang bernoda hitam karena tinta.
Natsir, kejujuran sikapnya menjadi cermin. Ia dengan terang menolak sisa dana taktis dan lebih memilih disumbangkan ke koperasi pegawai. Dia juga tetap memilih mobil pribadinya, DeSoto, yang ia peroleh dari keringat dan kantong pribadinya ketimbang menggunakan Chevy Impala sebagai hadiah.
Referensi: Seratus tahun M. Natsir; Berdamai dengan Sejarah, Membongkar Manipulasi Sejarah, dan sumber lainnya.