Bendera dan Propaganda Kemenangan
May 3, 2019Politik Kolonial dan Kekhawatiran Terhadap Dakwah Islam
May 7, 2019Jawa dan Sumatera : Kisah Seorang Tawanan Perang.
Sekelompok perwira dari Batalyon Senapan Mesin 2/3, yang awalnya merupakan bagian dari pasukan Blackforce, yang tetap berada di Jawa dan dibebaskan oleh pasukan Sekutu pada akhir September 1945.
Mereka berada di Bicycle Camp di Jakarta, dinamai demikian karena banyaknya jumlah sepeda yang ditemukan di sana ketika pertama kali ditempati oleh para tahanan. [AWM 123666]
“Apa yang terjadi pada hari ini adalah bahwa semua orang secara bersama-sama merasakan kemarahan (kekecewaan). Saya akan senang melihat beberapa orang dengan keyakinan sosialis mereka menyaksikan pelaksanaan kamp tawanan ini (di Bandung) dan mengetahui kisah batin para penghuninya.”
Letnan Kolonel Edward ‘Weary’ Dunlop, 30 Oktober 1942, dalam The War Diaries of Weary Dunlop, Melbourne: Nelson, 1986, hlm. 109.
Konsentrasi pasukan Australia terbesar kedua yang berhasil ditangkap oleh tentara Jepang pada tahun 1942 adalah yang berada di Pulau Jawa. Setelah kapitulasi Sekutu di Hindia Belanda pada 9 Maret 1942, sekitar 3000 warga Australia masih berada di pulau itu.
Di antara mereka kebanyakan merupakan anggota pasukan Divisi ke-7 yang dibawa kembali dari Timur Tengah untuk membantu pertahanan di Pulau Jawa dari serangan Jepang pada awal 1942. Sedangkan yang lainnya adalah korban selamat setelah tenggelamnya Kapal HMAS Perth dalam Pertempuran Laut Jawa pada 28 Februari 1942. Ada juga yang tertangkap karena berusaha melarikan diri ketika mengetahui bahwa Singapura telah jatuh ke tangan Jepang pada 15 Februari 1942.
Pengalaman sebagai tawanan perang di Jawa sangat beragam. Pada bulan-bulan pertama, beberapa orang Australia masih bisa bebas, mereka tersebar di daerah-daerah di sekitar Bandung, termasuk Garut dan Leles. Kondisinya yang longgar menjadikan para tawanan memiliki kebebasan yang cukup. Namun, secara progresif, Jepang mulai memusatkan semua POW (Prisoners of Wars atau tawanan) Sekutu, termasuk orang Australia yang ditahan di Sukabumi, Cilacap, Yogyakarta dan Cimahi, dipusatkan di dua kamp utama: antara lain di Bandung (PW Camp No. 12) dan di Kamp Sepeda (Bicycle Camp) di Jakarta.
Bicycle Camp, pada mulanya diperuntukkan bagi tawanan Belanda dan Inggris, juga personel Angkatan Laut Amerika Serikat yang berhasil selamat setelah tenggelamnya USS Houston ketika Pertempuran Laut Jawa, sama dengan HMAS Perth.
Namun, pada pertengahan Mei 1942, tawanan perang yang berasal dari Inggris dan Belanda (tidak termasuk perwira senior Inggris) dipindahkan. Hal ini sedikit memberi keleluasaan bagi para tawanan Australia dan sekelompok orang Amerika lainnya yang sebelumnya ditahan di Glodok dan di sebuah Sekolah Cina yang padat di Jakarta.
Pada awal Agustus, pasukan dari Batalyon Ke-2/40 yang ditangkap di Timor, juga ditempatkan di Bicycle Camp, di mana komandan senior mereka adalah seorang Australia yang telah memimpin pasukan ‘Blackforce’ multinasional selama mempertahakan Pulau Jawa, yaitu Brigadir A.S Blackburn.
Kamp tawanan perang di Bandung No. 12 itu juga bersifat multinasional, sehingga tidak hanya diisi oleh orang-orang Australia, Inggris, dan Belanda, tetapi juga Kanada, Selandia Baru, Portugis, dan juga orang-orang Ambon dan Manado dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Sebagian besar urusan administrasi kamp tawanan jatuh ke tangan para perwira Belanda yang memiliki hubungan kuat dengan masyarakat sekitar. Terjadi ketegangan konstan antara kelompok-kelompok nasional tentang alokasi akomodasi dan distribusi serta harga makanan yang dijual di kantin tawanan. Letnan Kolonel Edward Dunlop, dalam buku hariannya, menulis setelah orang-orang Australia mengambil tempat yang sebelumnya ditempati oleh Belanda.
… Kegaduhan besar muncul ketika Mayor Morris mengambil kembali sebuah kotak dari bagian tawanan Belanda yang sebelumnya milik kami. Perwira Belanda itu dengan kasar merampasnya….. Saya marah dan mencaci mereka [Belanda] dengan mengatakan para perwiranya seperti burung bangkai.
(24 Mei 1942, The War Diaries of Weary Dunlop, Melbourne: Nelson, 1986, hlm. 29)
Secara keseluruhan kondisi para tawanan di Jawa sangat bervariasi, kondisi para tawanan ketika itu juga masih lebih baik dari apa yang akan mereka alami kelak dalam peperangan. Untuk satu hal, fasilitas yang dianggap sangat penting: misalnya, gubuk-gubuk atau barak besar di Bicycle Camp.
Ketersediaan makanan cukup baik, setidaknya sejak terjadi kesepakatan dan transaksi dengan masyarakat sekitar yang diperbolehkan dengan persediaan yang selalu penuh di kantin yang berada di dalam lokasi tawanan (seringkali, itu dilakukan demi keuntungan finansial bukan saja dari para tawanan perang tetapi juga dari pihak Jepang). Para tawanan juga sering dijadikan sebagai pekerja kasar untuk tujuan: memotong rumput, memindahkan toko, membersihkan jalan, memperbaiki mobil, dll.
Jika terjadi sesuatu, umumnya berupa masalah kebosanan dan kedisiplinan para tawanan di dalam kamp. Untuk mengatasi persoalan ini, program pendidikan dan kegiatan rekreasi dikembangkan menggunakan sistem hukuman yang dilakukan oleh petugas dari Australia.
Karena kekurangan kalori, pada pertengahan 1942, banyak tawanan yang menderita kekurangan gizi, beri-beri, pellagra, dan dermatitis skrotum. Jepang juga secara periodik dan teratur akan melakukan pemeriksaan dan menerapkan hukuman terhadap para tawanan yang melakukan pelanggaran ringan, antara lain dengan menampar dan memukuli para tawanan itu, mereka juga akan mengeksekusi para tawanan yang diketahui akan melarikan diri. Dan, dalam upaya mendapatkan informasi intelijen para perwira Sekutu sering diinterogasi secara brutal.
Pada bulan Agustus, pihak Jepang juga menuntut, seperti yang mereka lakukan di wilayah Asia Pasifik lainnya, bahwa para tawanan perang itu harus menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa mereka tidak akan melarikan diri. Ketika terjadi penolakan, kantin kamp akan ditutup, semua kegiatan rekreasi dihentikan dan dan semua petugas akan dipindahkan dari kamp tawanan. Di bawah paksaan dan ancaman, Blackburn akhirnya mengizinkan pasukannya untuk menandatangani. Setelah itu, penjagaan yang dilakukan oleh tentara Jepang dan Korea semakin disiplin dandiperketat.
Pada bulan September, Jepang mengumumkan bahwa gerakan besar-besaran pasukan dari Jawa direncanakan ‘ke wilayah yang lebih baik di mana makanan akan tersedia. Rombongan pasukan pertama yang meninggalkan Bicycle Camp berangkat pada awal Oktober dan hanya menyisakan petugas senior di sana. Sekitar 360 warga Australia yang pergi pada 11 Oktober bergabung dengan pasukan di Burma.
Diperkirakan sekitar seribu orang Australia tetap berada di Bandung hingga bulan November, hingga akhirnya mereka dipindahkan ke Makasura, yaitu sebuah kamp yang berada di Pondok Bambu dekat Jakarta. Di sini, di bawah pimpinan Dunlop, terdapat tugas yang diperlukan oleh pihak Jepang. Dengan persediaan makanan yang cukup juga dijaga oleh pasukan Jepang dengan cukup baik. Para tawanan perang bahkan diizinkan untuk mengirimkan pesan melalui radio ke rumah.
Namun pada 4 Januari 1943, sekitar 900 orang Australia yang disebut Pasukan Dunlop itu diperintahkan untuk pindah. Mereka kemudian berlayar menuju Singapura, berhenti sebentar di Changi sebelum diangkut dengan kereta api menuju Thailand – Burma tepatnya di wilayah Konyu dan Hintok di Thailand.
Beberapa orang Australia tetap berada di Jawa di mana jumlah mereka kemudian bertambah setelah kedatangan para tawanan perang dari Batalion ke-2/40 yang tertangkap di Timor. Pada bulan-bulan berikutnya, mereka dipindahkan dari kamp satu ke kamp yang lainnya, seperti Makasura, Tanjong Priok, Kamp Sepeda dan Glodok. Mereka juga dicampur dan dipisahkan dengan tawanan perang dari negara lain.
Pada awal tahun 1944, kebanyakan tawanan perang (termasuk sekitar 400 warga Australia) terkonsentrasi di sekitar Jakarta, meskipun beberapa dipekerjakan di Adjick dan sekitar 70 dikirim ke Serang. Pada bulan Oktober, sebagian besar petugas terkonsentrasi di Bandung. Kemudian pada Januari 1945, banyak orang Australia yang tersisa di Jawa dipindahkan ke Singapura, beberapa menempati kamp River Valley. Mereka yang masih tersisa di Jawa ditahan di penjara lokal yang penuh sesak di Bandung.
Sekitar 60 perwira dan tentara Australia diinternir dari Palembang, Sumatera. Mereka telah ditangkap dan dijadikan tawanan perang bangsa lain setelah mereka melarikan diri dari Singapura.
Pada tahun 1944, kondisi para tawanan semakin memburuk ke titik di mana segala sesuatu yang dapat dimakan seperti: siput, tikus, anjing, ular, dan iguana akan mereka konsumsi. Akhirnya, pada bulan Mei 1945, sekitar 1400 tawanan perang dikirim ke Singapura menggunakan ‘kapal neraka’ yang penuh sesak sehingga banyak tawanan yang harus berdiri selama perjalanan, beberapa bahkan diketahui kemudian dalam keadaan meninggal.
diterjemahkan dan diadaptasi dari laman online:
https://anzacportal.dva.gov.au/history/conflicts/burma-thailand-railway-and-hellfire-pass/locations/australian-prisoners-asia-2
pada 26 April 2019.