Kebesaran Hati Sang Panglima Besar
July 3, 2020The East (Bukan) Soal Sinematografi Semata
July 15, 2020Rakyat Gayo, Perang Suci Melawan Kaum Kafir
Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang terpanjang yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda dalam rangkaian penaklukan wilayah-wilayah di Nusantara.
Setelah Sultan Muhammad Daud Syah berhasil ditawan dan diinternir Belanda pada tanggal 10 Januari 1903, Van Heutsz sebagai gubernur jenderal bertekad untuk menaklukkan seluruh wilayah Aceh. Adapun daerah yang belum ditaklukkannya adalah daerah pedalaman, antara lain Gayo dan Tanah Alas.
Untuk tugas ekpedisi penaklukan tersebut, van Heutsz menunjuk Letkol van Daalen untuk memimpin ekspedisi pasukan Belanda ke daerah-daerah tersebut.
Dipersiapkanlah pasukan dalam jumlah yang besar, sebagaian besar di antaranya merupakan serdadu Marsose yang gagal dalam ekspedisi-eksepdisi sebelumnya. Meskipun gagal dalam misi sebelumnya, namun mereka dianggap lebih siap dan berpengalaman memasuki daerah pedalaman Aceh.
Perjalanan ekspedisi ini memang tak mudah. Selain medan yang berat, tak jarang pasukan Belanda harus menghadapi serangan-serangan pendadakan yang dilancarkan para pejuang Aceh. Para pejuang Aceh memang terkenal militan, sekalipun para pemimpinnya telah ditangkap, mereka tak lantas surut dalam perlawanan.
Dalam penaklukan total Aceh, ketika baru saja tiba di Gayo, van Daalen mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo. Isinya adalah van Daalen meminta para pemimpin rakyat itu agar menandatangani “perjanjian takluk” kepada Belanda. Mereka juga diminta menghadap kepada van Daalen.
Namun, di luar dugaan, para pemimpin rakyat Gayo itu menolak melakukannya. Tak ada satupun yang bersedia menandatangani atau bahkan menghadap van Daalen.
Sikap para pemimpin Gayo itu juga didukung oleh rakyat Gayo yang bersikukuh bahwa mereka tak sudi menyatakan diri takluk kepada para pemimpin kafir itu.
Kemudian, semua rakyat yang tinggal di desa-desa, tanpa kecuali, berkumpul di benteng-benteng yang terbuat dari bambu atau membuat pertahanan dari semak berduri, mereka bersiap melawan.
Mereka juga mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol bahwa ini adalah perlawanan suci terhadap kaum kafir.
Dengan persenjataan yang seadanya, mereka juga melakukan munajat kepada Sang Pencipta. Dalam benak mereka, kapan lagi mendapatkan kesempatan terbaik seperti ini. Lebih baik mati di jalan Allah dan menjadi syuhada daripada harus tunduk kepada bangsa penjajah atau menjadi tawanan.
Rakyat Gayo akhirnya benar-benar melawan Belanda dengan hebat dan penuh keberanian. Melawan menjadi satu-satunya jalan ikhtiar yang harus ditempuh, hingga titik darah penghabisan. Sekalipun pada akhirnya kalah, namun mereka tak pernah tunduk dalam arti yang sebenarnya kepada para penjajah yang kafir itu.
Dalam penaklukan ini, van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus. Ia hanya memerintahkan pasukannya agar membasmi tanpa ampun.
Terang saja, perintah ini di kemudian hari dianggap sebagai genocida yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Terutama dalam rangka penaklukan-penaklukan daerah di Nusantara.
Dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo misalnya, didapatinya ratusan warga dibantai, dengan korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak.
Bahkan, dalam laporan ajudan van Daalen sendiri, J.C.J Kempees, menyatakan bahwa korban tewas hingga dengan 4.000 orang. Laporan Kempees itu berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904) juga dilengkapi dengan foto-foto.
Barangkali, bagi Aceh dan Indonesia pada umumnya, melawan bukanlah pilihan. Melainkan jalan suci melawan angkara dan penindasan. Perjuangan bukanlah kalkulasi untung dan rugi, tetapi itu menjadi jalan terang bagi kehidupan abadi kelak.
@matapadi