HARI AKHIR SANG PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
June 15, 2022Surabaya Klasik: Dari Airlangga hingga Hayam Wuruk (1019–1389)
September 7, 2022PEMAKAMAN SUKARNO TAK SESUAI WASIAT?
Sukarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Di mana Sukarno akan dimakamkan?
Dalam autobiografinya, Sukarno pernah berkata:
“Aku ingin meninggal cepat dan tenang di tempat tidur. Bila tiba saat pergi bagiku, aku ingin sekadar menutup mata dan menyerahkan diriku kepada Tuhan. Kuperingatkan kawan-kawan agar aku ingin beristirahat di bawah naungan pohon yang rindang, dikelilingi pemandangan indah di samping sebuah sungai yang segar airnya dan indah tampaknya. Aku ingin berbaring di antara bukit-bukit dan keheningan. Itulah keindahan negeriku tercinta dan kesederhanaan tempat asalku. Dan aku menginginkan tempat peristirahatan terakhir di Priangan dan daerah Bandung, yang sejuk berbukit subur, tempatku untuk pertama kali berjumpa Marhaen si petani.”
Frasa “di bawah pohon yang rindang” pernah disampaikan kepada Dewi. Dalam surat berjudul “Testamenku” berkop Burung Garuda dengan kepala surat bertulis Presiden Republik Indonesia tertanggal 6 Juni 1962, Sukarno menulis: “Kalau aku mati, kuburkanlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai isteri, yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburkanlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.”
Dalam surat Sukarno kepada Dewi tak ada pertentangan dengan keinginan Sukarno dalam autobiografinya. Sukarno ingin dimakamkan di bawah pohon yang rindang di Priangan dan daerah Bandung. Ketika Dewi meninggal dunia, Sukarno meminta agar dikuburkan di dalam kuburnya.
Namun, lokasi makam menjadi kabur ketika Sukarno menulis surat kepada Hartini berjudul “Surat Wasiat”. Surat bertanggal 24 Mei 1965 itu berbunyi, “Kalau saya meninggal dunia, maka saya menghendaki, agar kelak isteri saya Hartini dikubur berdampingan dengan saya. Tempat kuburan bersama itu telah saya tentukan, yaitu di Kebun Raya Bogor dekat dengan kolam pemandian yang membukit.”
Dari dua surat itu, Sukarno ingin dimakamkan berdampingan dengan Hartini dan di atas makam Sukarno dimakamkan Dewi. Romantisme Sukarno! Sukarno ingin berdekatan dengan dua istrinya itu saat jasad telah terkubur tanah.
Namun, persoalannya, di Priangan dan daerah Bandung atau di Kebun Raya Bogor dekat kolam pemandian yang membukit? Atau barangkali, Sukarno menuturkan di autobiografinya untuk dimakamkan di tempat pertama kali bersua Marhaen agar bersatu dengan Inggit Ganarsih?
Dalam rapat keluarga ternyata muncul pertimbangan lain. Sewaktu Sukarno masih hidup pernah meminta agar dikuburkan di pekarangan rumahnya di Batutulis. Bukankah hal ini menunjukkan banyaknya pandangan?
Soeharto berkata, “Kami ingat akan wasiatnya. Kami ingat akan permintaan almarhum semasa hidupnya, jenazah hendaknya dimakamkan di suatu tempat di mana rakyat datang seperti dipesankan Bung Karno kepada Dewi. Pesannya kepada Hartini, tetapi keluarga yang lain mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Tetapi keluarga yang lain mempunyai pendapat yang lain lagi. Ternyata keinginan keluarga Bung Karno yang banyak itu berbeda-beda.”
Pemakaman Sukarno mencuatkan problema. Jika memang bermunculan aneka pendapat dan pandangan, mengapa Soeharto tidak meluluskan hasil rapat keluarga untuk dimakamkan di Batutulis?
Soeharto akhirnya memutuskan dengan bertitik tolak dari karakter Sukarno yang sangat mencintai dan menghormati ibundanya. Sukarno dimakamkan di dekat makam Idayu Nyoman Rai Sarimben di Blitar, Jawa Timur.
Alangkah bijak jawaban Sabam Sirait kepada Soeharto, “Bung Karno dimakamkan di mana pun di seluruh Indonesia, di Sabang pun dia dimakamkan, di Merauke pun dia dimakamkan, selama dimakamkan di Indonesia, adalah tanah air Sukarno.”
Lewat Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 1970, Soeharto menetapkan penyelenggaraan upacara pemakaman kenegaraan kepada almarhum Sukarno, menetapkan Blitar sebagai tempat makam, dan hari berkabung nasional selama 7 hari terhitung sejak 21 Juni 1970.
Kompas edisi 22 Juni 1970 dalam tajuknya menulis, “Keputusan untuk memakamkan almarhum Ir. Sukarno secara kenegaraan, berkabung tujuh hari dan menghormatinya sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia, rasanya sesuai dengan kehendak orang banyak.”
Sukarno dimakamkan atas kehendak nasib. Ia memeluk lagi ibundanya yang memberinya gelar Sang Putra Fajar. Wallahu a’lam.(Hendra Sugiantoro).