The East (Bukan) Soal Sinematografi Semata
July 15, 2020Dari Grotius hingga Zegveld: 400 Tahun Hak untuk Menjarah
August 27, 2020Antara TNI, Amir Syarifuddin dan Peristiwa Madiun
Tahun 1948, terjadi pertentangan politik yang berkepanjangan bahkan meruncing semakin tajam. Situasi ini diperparah dengan keadaan sosial dan perekonomian yang lemah dan posisi beberapa bagian dari Angkatan Perang (TNI) yang tidak netral, sebagian di antara mereka justru memihak pada golongan komunis.
Situasi sebelum Peristiwa Madiun, tampak jika golongan kiri telah mempersiapkan diri. Hal ini dapat dilihat sejak seorang kripto komunis yaitu Amir Syarifuddin mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan penting dalam kabinet keempat.
Amir Syarifuddin yang seorang intelektual sekaligus politikus, memanfaatkan situasi ini sehubungan dengan posisinya sebagai pejabat politik, perdana menteri. Amir diketahui semakin memperkuat posisi dan juga mengembangkan ideologinya, baik dengan mengangkat kawan-kawan seperjuangannya dalam posisi yang menentukan, maupun mengeluarkan peraturan dan perundangan yang memihak terhadap golongan kiri, termasuk dengan pemberian fasilitas bagi gerakan selanjutnya.
Kaitanya dengan angkatan bersenjata sebagai penopang eksistensi Republik, Amir Syarifuddin ketika masih menjabat menganjurkan supaya membentuk laskar-laskar perjuangan dan biro-biro perjuangan serta Pepolit dengan alasan akan mewujudkan sistem “Pertahanan Rakyat Total”.
Hal ini tampak ketika pemerintah menyetujui usulan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) yang pertama kali muncul dalam suatu mosi yang diajukan oleh Z. Baharuddin dalam sidang KNIP 20 Desember 1947. Salah satu pokok dalam mosi tersebut, di antaranya adalah tentang kedudukan Angkatan Perang untuk sementara waktu berada di bawah Kementerian Pertahanan.
Ketika itu, dalam kabinet yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin sendiri telah merancang rencana menempatkan Angkatan Perang di bawah kementerian dan memperbesar pengaruh kelompok kiri dengan menempatkan tokoh-tokoh kiri dalam posisi dan jabatan penting dalam Kementerian Pertahanan.
Namun belum kebijakan Re-Ra itu dilaksanakan, kabinet yang dipimpin Amir itu jatuh setelah penandatanganan Persetujuan Renville dengan Belanda. Persetujuan Renville memang memunculkan resistensi di kalangan TNI, terutama dari pasukan Siliwangi yang terpaksa meninggalkan Jawa Barat dengan Hijrah.
Secara politis, sebelum akhirnya dilaksanakan oleh Hatta, kebijakan Re-Ra pada mulanya memang akan digunakan sebagai instrumen untuk menguasai Angkatan Perang oleh kelompok kiri. Kelompok kiri sadar bahwa untuk meluluskan cita-cita mereka, dukungan kekuatan bersenjata adalah keniscayaan.
Pasca jatuhnya kabinet yang dipimpin Amir, pada tanggal 28 Juni 1948, dibentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri atas Partai Sosialis (kelompok Amir), Pesindo, Partai Buruh, PKI, dan Sobsi. Amir sendiri dan beberapa kelompoknya dalam relasinya dengan pemerintah kemudian memposisikan diri sebagai oposisi dari Kabinet Hatta yang telah menggantikan kabinet yang pernah dipimpinnya.
Aksi yang dilaksanakan kelompok kiri terus berlanjut, termasuk dengan memperluas pengaruh dan agitasi terhadap kalangan Angkatan Perang Republik. Para panglima divisi, komandan batalion ataupun pasukannya didekati dan dipengaruhi.
Seorang perwira potensial yang pernah menjabat sebagai sekretaris Panitia Hijrah dan staf di salah satu bagian Kementerian Pertahanan, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung (Willy), pernah ditawari jabatan oleh Amir Syarifuddin.
Pada awal 1948, mereka berdua bertemu. Amir Syarifuddin kemudian menceritakan kekuatan pendukungnya serta rencananya untuk pengembangan pasukan. Amir sendiri mengetahui langsung peran Letkol Willy dalam palagan Jawa Timur ketika melawan Sekutu.
“Bung Willy, pimpinlah pasukan kami. Saya akan angkat saudara menjadi mayor jenderal.” Pinta Amir.
Letkol Willy yang begitu memahami konteks di lapangan dan memahami betul kekuatan bersenjata yang ada di tubuh Republik kemudian menjawab dengan:
“Bung Amir, kau dibohongi orang-orangmu. Pasukanmu tidak begitu kuat dan tidak berpengalaman. Juga tidak memiliki banyak senjata seperti yang mereka akui. Sejak awal saya telah berada di daerah pertempuran di Jawa Timur. Saya mengetahui dengan jelas jumlah pasukan beserta persenjataanya. Dan, saya tidak melihat pasukan yang bung Amir sebutkan. Di rumah sakit selalu tersedia daftar mengenai korban dari pasukan dan organisasi mana, di mana kejadiannya. Pasukan yang Bung Amir maksud tidak pernah saya lihat di daftar rumah sakit. Selain itu, saya tidak tertarik dengan pangkat mayor jenderal.”
Lalu, Kolonel Sungkono, saat menjadi Panglima Divisi VI (Narotama), juga pernah dibujuk sehari semalam oleh Soemarsono, seorang tokoh Pesindo, agar mengerahkan kekuatan Divisi VI dalam pemberontakan untuk melawan pemerintahan Sukarno Hatta.
Kabar ini memang sempat santer jika kekuatan PKI akan didukung oleh Divisi VI, sebagaimana yang dilaporkan oleh Sumarsono kepada Amir Sjarifuddin. Namun apa yang disampaikannya itu justru kebalikannya. Kelak Divisi VI justru menjepit kekuatan PKI dari sebelah timur Madiun, setelah sisi Barat ditekan oleh pasukan Siliwangi.
Meski telah ada Keputusan 3 Juni 1947, yang menyatakan bahwa TNI merupakan satu-satunya wadah resmi Angkatan Bersenjata, tetapi dalam kenyataannya kemudian, di luar TNI, Amir Syarifuddin tetap membina organisasi-organisasi bersenjata yang bernaung di bawah partai politik.
Tampaknya kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok komunis untuk mengimbangi kekuatan TNI sebagai Angkatan Perang yang resmi.
Satuan-satuan TNI kemudian memang benar-benar diimbangi oleh satuan-satuan dari badan-badan perjuangan yang telah dipengaruhi oleh Amir Syarifuddin. Langkah-langkah yang dilakukan tersebut berdalih sebagai salah satu usaha menciptakan “people’s defence” sebagai persiapan menghadapi kemungkinan serangan Belanda.
Mereka juga meyakinkan pemerintah dan rakyat agar tidak perlu khawatir dan merasa pesimis atas kekuatan yang dibangunnya. Belanda pasti tidak mampu melawannya bahkan ia akan hancur bila berani masuk ke wilayah Republik.
Demikianlah spekulasi dan taktik Amir Syarifuddin dalam usahanya untuk mengelabuhi mata pemerintah dan rakyat, yang banyak menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat dan akhirnya menyadari ke mana tujuan Amir Syarifuddin yang sesungguhnya.
Propaganda yang diucapkan dengan penuh agitasi ini tidak lepas dari intaian lawan-lawan politiknya, bahwa saat itu, Amir Syarifuddin tengah berusaha meyakinkan diri seakan-akan hanya dialah seorang pemimpin yang mampu membangun suatu Angkatan Perang yang kuat.
Pada bulan Agustus 1948, Muso yang lari ke Rusia setelah gagal dalam pemberontakan PKI tahun 1926 kembali ke Indonesia. Kemudian pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso telah tiba di Yogyakarta dan langsung menduduki pucuk pimpinan PKI. Sebulan kemudian, 19 September 1948, pecah pemberontakan PKI Madiun.
Menanggapi peristiwa di Madiun, Presiden Sukarno kemudian menyatakan bahwa Negara Dalam Keadaan Bahaya atau SOB (Staats van Oorlog en Beleg). Jawa Timur kemudian dijadikan sebagai daerah istimewa, dengan Sungkono sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948, dan dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.
Akhirnya, kakuatan PKI di Madiun bisa dihancurkan oleh TNI sebagai penopang eksistensi Republik. Sebagian dari pengikutnya melarikan diri ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pasukan Siliwangi mengejar mereka yang lari ke Jawa Tengah sedangkan pasukan dari Divisi VI memburu mereka yang lari di Jawa Timur. []
@matapadi
Referensi
- 2012. Kronik Peristiwa Madiun 1948, Yogayakarta: Matapadi Pressindo.
- Wiliater Hutagalung. 2016. Autobiografi Letkol (Purn) Wiliater Hutagalung; Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa, Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Ahmad Ammar Muzaky, 2019. KKO hingga Marinir 1945-1975; Pasang Surut Pasukan Pendarat TNI-AL, Yogayakarta: Matapadi Pressindo.
- Kartasasmita, Ginandjar. 1997. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat Negara.