Aceh, Fatwa Jihad Demi Republik
December 23, 2020Diplomasi, Loby, Klaim dan Propaganda
January 25, 2021Ismail Banda, Diplomasi Pelajar Republik Di Luar Negeri
Abdul Kahar Muzakkir memberikan kesaksian bahwa Ismail Banda adalah pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di luar negeri. Muzakkir menulis sebuah artikel berjudul “Ismail Banda Almarhum, Pelopor Kemerdekaan di Luar Negeri” yang terbit di Harian Nasional pada akhir bulan Desember 1951.
Ada tiga hal menarik dalam artikel itu. Pertama, sewaktu masih di Makkah, kata Muzakkir, Ismail Banda “… menyatukan ribuan pelajar dan diarahkannya pada cita-cita nasional Indonesia. Ia menyatukan berbagai perhimpunan Indonesia dan menghilangkan ‘provincialisme’. Buah perjuangannya sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia di Makkah”.
Dalam hal ini, Ismail Banda tampak mewarisi semangat antikolonialisme yang dimiliki ulama-ulama Nusantara yang menetap di Haramain, seperti Syekh Abdul Shamad Palembang, Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Abullah, Syekh Muhaimin Lasem, Syekh Ahmad Khatib, dan Syekh Muhammad Mukhtar. Di mana mereka, menurut AlQurthuby (2019), mendukung jihad melawan Belanda demi kebebasan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari kolonialis Belanda di Nusantara.
Kedua, Ismail Banda bergabung dengan Perhimpunan Indonesia Malaya (Perpindom), di mana Ismail Banda pernah menjadi ketuanya, yang menurut Muzakkir: “sedikit banyak membuahkan rasa persaudaraan bangsa Indonesia baik yang di Indonesia sendiri maupun di Malaya”. Ketiga, Ismail Banda, kata Muzakkir “…sebagai ketua Panitia Perjuangan (Pembela) Kemerdekaan Indonesia, ia bertugas sebagai penghubung (Republik Indonesia) dengan pemerintah Mesir, partai-partai politik, surat kabar-surat kabar, dan kedutaan-kedutaan asing di Cairo”.
Muzakkir melanjutkan: “usahanya dalam mengadakan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Al Azhar… dan lainnya untuk memprotes agresi militer Belanda di Indonesia telah berhasil baik sekali, sehingga semua lapisan rakyat Mesir dan negeri-negeri Islam lainnya mengenal dan membantu perjuangan rakyat Indonesia”. Muzakkir meneruskan bahwa: “surat kabar-surat kabar, Partai Wafd, Ikhwanul Muslimin, dan Syubban Muslimin telah memberikan sokongan yang nyata kepada perjuangan kita. Demikian juga kaum buruh menyambut dan menyokong dengan hebatnya”.
Mengenai dua pernayataan terakhir dari Abdul Kahar Muzakkir di atas, M. Zein Hassan yang merupakan sahabat dan saksi mata perjuangan Ismail Banda, memberikan informasi terperinci dalam bukunya yang berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia (1980). Sewaktu menjadi ketua Perpindom, Ismail Banda menggalang persatuan demi kemerdekaan Indonesia. Empat usaha perjuangan Ismail Banda yaitu: pertama, dalam sebuah koran di Kairo, Le Journal d’ Egypte, diberitakan bahwa: “rakyat Indonesia di luar negeri menyatakan tekad akan sama-sama rakyat Belanda membebaskan Indonesia dari pendudukan Belanda”.
Hassan menunjukkan berita itu kepada Ismail Banda sebagai ketua Perpindom dan mereka sepakat tidak membiarkan aktivitas Belanda di Timur Tengah dengan memberikan berita tidak benar. Mereka mengadakan pertemuan dengan empat orang lainnya yakni Ahmad Hasyim Amak, Abdulrahman Ismail, Abdul Jalil Hasan dan Muhammad Dawam. Mereka disebut Panitia Enam dan sepakat bahwa, gerakan mereka adalah rahasia dengan tugas pokok merencanakan dan mengoordinasi kegiatan-kegiatan perlawanan terhadap Belanda di mana mereka berusaha membangun persatuan antar bangsa Indonesia, serta mendekati untuk meraih dukungan dari masyarakat Mesir dan berbagai partai politik, organisasi Islam dan media cetak di Mesir.
Tujuan gerakan bawah tanah ini oleh Ismail Banda dan koleganya adalah menghancurkan rencana Belanda untuk mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia di Mesir dan memberikan pemahaman kepada bangsa Arab tentang perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda (Hassan, 1980: 32-35).
Kedua, saat Pan Arab yang kemudian menjadi Liga Arab mengadakan kongres di Iskandariyah, Mesir, di bulan September 1944, Perpindom mengutus Ismail Banda dan M. Zein Hassan untuk melobi para peserta kongres yang merupakan para perdana menteri dan menteri luar negeri dari negara-negara Timur Tengah dan menyampaikan tiga tuntutan sebagaimana diungkap Hassan (1980: 41), yaitu pengakuan atas kemerdekaan Indonesia, jaminan kesatuan Indonesia, dan wakil Indonesia diikutsertakan dalam menentukan masalah perdamaian setelah perang.
Tiga tuntutan tersebut diajukan atas nama Perhimpunan Indonesia dan meraih simpati bahkan dukungan dari para peserta kongres di mana mereka sepakat bahwa Indonesia harus merdeka. Ketiga, beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan tepatnya pada 16 Oktober 1945, diadakan Konferensi Arab Islam di gedung Jam’iyah Syubban Muslimin di Mesir. Konferensi ini dihadiri oleh pejabat dan tokoh negara-negara Arab. Pada acara pembukaan, Ismail Banda dan M. Zein Hassan memberikan uraian tentang Islam di Indonesia, perjuangan dan proklamasi kemerdekaan Indonesia,
serta perkembangan terakhir pasca Proklamasi Kemerdekaan. Mereka kemudian menyampaikan dua hal: menuntut negara-negara Arab mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia, dan menyodorkan draft resolusi yang disusun dalam tiga bahasa (Arab, Inggris dan Perancis).
Dua di antara tujuh poin dalam resolusi itu adalah: “menuntut semua negara dan terutama negara-negara Arab dan Islam supaya mengakui RI”, dan “mendesak Inggris supaya jangan menyokong Belanda…”. Oleh Jenderal Saleh Harb Pasya, ketua Panitia Pembela Indonesia dan Kemerdekaan dan ketua Jam’iyah Syubban Muslimin menyampaikan resolusi yang disusun oleh Ismail Banda dan M. Zein Hassan membuahkan banyak hasil.
Puncaknya, pada 19 November 1946, semua media cetak di negara-negara Timur Tengah menyampaikan keputusan Dewan Menteri Luar Negeri Liga Arab bahwa: “mewasiatkan negara-negara Arab supaya mengakui Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat” (Hassan, 1980: 63-65).
Atas usaha-usaha pelajar seperti Ismail Banda, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bahkan juga mendorong negara-negara Arab lain untuk melakukan hal yang sama (Salim HS., dalam Lindsay dan Liem, 2012), termasuk Saudi Arabia (Jamil, 1977). Tentu saja, bangsa Indonesia harus berterima kasih atas usaha Ismail Banda dan koleganya.
Keempat, pada tanggal 26 September 1948, Ismail Banda masuk dalam jajaran tim misi haji pertama. Misi haji ini diadakan untuk menghadang propaganda Belanda yang terus meningkat di Saudi Arabia di mana Belanda mengirimkan berbagai misi diplomatik dan misi agama (haji). Itulah sebabnya untuk melawan propaganda itu, pemerintah Republik Indonesia mengirimkan tim misi haji pertama dengan mengutus KH. Moh. Adnan, Ismail Banda, Saleh Suady TH, dan Syamsir St. R. Ameh (Hassan, 1980: 263). Abubakar Aceh (1957) secara jujur menyebutkan bahwa Ismail Banda dalam misi haji pertamanya bertugas sebagai Sekertaris I.
Abubakar Aceh memuji Ismail Banda sebagai orang yang mempunyai kecerdasan dengan mengatakan bahwa tugas tim ini adalah “menjelaskan kepada dunia Islam (tentang) politik pemerintahan RI dewasa itu serta mempropagandakan perjuangan rakyat bangsa Indonesia baik selama di Makkah maupun selama perjalanan pulang pergi…” (214, 650). Secara khusus, Ismail Banda atas kapabilitas dan kompetensi berbahasa Arabnya ditugaskan melalui pers Arab untuk mengenalkan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonial Belanda.
Kehadiran misi haji pertama ini mendapatkan simpati dari negara-negara Islam yang akhirnya turut memperkukuh pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (Kementerian Agama, 1996: 28). Apa yang disampaikan di atas bukanlah klaim sepihak karena juga diakui oleh tokoh nasional Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution yang memuji perjuangan Ismail Banda di luar negeri dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Proklamasi, Nasution mengungkap bahwa Ismail Banda bersama para pelajar dan masyarakat Indonesia lain terus berusaha mewujudkan persatuan di kalangan pelajar dan masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Nasution melanjutkan bahwa Muhammad Zein Hassan dan Ismail Banda, dua orang tokoh yang terkenal, selalu berunding dan mencari jalan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Ia bahkan menjadi penghubung pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir dan kekuatan sosial politik yang ada di sana terutama Ikhwanul Muslimin (Nasution, 1977: 163-168).
Perihal perjuangan pelajar di Mesir, Ismail Banda sendiri pernah menyampaikan makalah di Yogyakarta dengan judul “Pengakoean Mesir dan Arab League” (Sitompul, 1986). Jenderal Abdul Haris Nasution (1977) mengatakan: “… Dalam pada itu, gerakan illegal kita di Mesir sudah bekerja sama secara erat dengan pelbagai organisasi-organisasi dan persuratkabaran, sehingga timbul pengertian dan simpati yang luas terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi yang besar minat dan bantuannya adalah Ikhwanul Muslimin, dalam mana Ismail Banda sendiri menjadi penghubung kita. Ditentukanlah siasat untuk memperoleh pengakuan negara-negara Arab. Kebetulan pula kongres negara-negara Arab sedang berlangsung di istana negara di Alexandria… Ismail Banda dan Zein Hassan secara menyamar sebagai orang Irak dari perutusan Irak -memakai songkok Irak mengendarai taksi- dapat masuk ke dalam istana yang dijaga keras itu… Semua delegasi (negara-negara Arab) ditemui dan semua bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia. Mereka menyanggupi bantuan-bantuan yang mungkin (h. 168). []
Arikel ini diambil dari Islamijah Journal of Islamic Social Science, Volume. 1, No. 2 (2020).