Diplomasi, Loby, Klaim dan Propaganda
January 25, 2021Pengaruh dan Kemegahan Singgasana Aceh
January 27, 2021Tentara (TNI) di Antara Persimpangan Kekuasaan
Perjalanan Indonesia sebagai negara, eksistensinya memang tak lepas dari peranan tentara, TNI. Dari awal eksistensinya, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, tentara – ketika itu masih menggunakan nama BKR, menjadi garda terdepan yang bertugas melindungi, menjaga, dan mempertahankan sakralnya Proklamasi sebagai tonggak berdirinya negara Republik Indonesia.
Tentara, dalam perkembanganya kemudian memiliki posisi yang sentral dan strategis, tetapi juga rentan dan dilematis. Sebagai garda terdepan, rakyat dan pemerintah tentu berharap penuh tentara akan menjaga mereka. Namun dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, tentara seringkali kurang diperhitungkan, terutama jika itu telah menyangkut kepentingan-kepentingan dalam politik diplomasi.
Namun demikian, TNI ketika itu tetap berupaya sebisa mungkin memenuhi harapan itu, meskipun dalam posisi yang dilematis dan dalam keadaan yang serba terbatas. Tak jarang jalan politik yang dipilih justru menuntun kekecewaan yang teramat sangat. Pun dengan konsekuensi yang harus ditelan tentara, getir terasa.
Akibatnya, sekalipun berpotensi menimbulkan resistensi di kalangan tentara sendiri, namun TNI sanggup menjaga marwah dan martabatnya. Ia tetap teguh berdiri sebagai garda terdepan pelindung eksistensi negara.
Di tengah situasi yang sangat dinamis dan genting seperti peperangan misalnya, tentara juga harus bisa memastikan jalannya pemerintahan sipil. Fungsi-fungsi pemerintahan harus tetap berjalan sekalipun dalam situasi yang sulit. Sekalipun juga rentan dituduh telah melakukan kudeta, namun TNI menjadi satu-satunya alat negara yang memungkinkan untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Apalagi, tentara memang dilatih untuk selalu beradaptasi dengan segala situasi. Artinya TNI merupakan alat negara yang paling memungkinkan menjalankan fungsi pemerintahan sipil meski dalam kondisi yang serba terbatas.
Prinsipnya, pemerintahan sebagai penyelenggara negara boleh hilang atau berganti, namun TNI memiliki tanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan sipil sebagai salah satu bukti adanya eksistensi negara.
Pemberlakuan pemerintahan militer setelah Belanda menyerang dan menduduki ibukota Republik dalam Agresi Militer Belanda II misalnya, menjadi bukti bahwa TNI berperan besar dalam menjaga eksistensi negara, termasuk dengan menjalankan pemerintahan sipil.
Dalam realitasnya, selain menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan sipil dalam konsep pemerintahan militer, tentara akan menjalankannya dalam dua fungsi sekaligus. Menjalankan fungsi pemerintahan dan bersiaga bertempur jika keadaan mengharuskan.
Selain harus selalu siap sedia bertempur, aparatur TNI yang menjalankan fungsi pemerintahan sipil, juga berupaya keras melawan segala bentuk agitasi dan propaganda Belanda terhadap rakyat di daerah yang mereka duduki. Apalagi dalam dalam konsep gerilya, rakyat merupakan elemen terpenting. Jika rakyat terpengaruh propaganda Belanda, maka eksistensi negara tinggal menghitung hari saja.
Petikan di bawah ini merupakan bunyi instruksi Pimpinan Pertahanan Rakyat, dalam Djogja Documenten, (ANRI, no. inv. 214) sebagai landasan hukum pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang saat itu diberlakukan dengan pemerintahan militer. Di dalamnya terdapat pernyataan agar rakyat turut pula dalam perjuangan.
“Maka dengan lama kelamaan djika tentara teritorial ada di tengah-tengah rakjat sedemikian dan terus bekerdja sama, maka rakjat mendapat peladjaran-peladjaran dan pengalaman-pengalaman pertempuran jang membawah pula pasukan-pasukan taktis. Maka pemuda-pemuda chususnya, rakjat umumnya semakin banyak turut dalam pertahanan dan pertempuran dan pula oleh didikan oleh tentara kita meningkat terus, sampai tertjapai rakjat yang mana setiap orang bisa djadi pradjurit, yang mana setiap petani adalah prajurit”.
Dalam perjalannya kemudian, TNI pada akhirnya benar-benar membuktikan eksistensinya sebagai alat negara yang berfungsi melindungi, menjaga, dan mempertahankan eksistensi negara Republik Indonesia.
Serangan Spektakuler-Serangan Umum 1 Maret 1949, menjadi bukti bahwa “gebrakan” TNI mampu membuktikan kepada dunia internasional bahwa eksistensi negara dan TNI sebagai pelindungnya masih ada dan mampu memberikan perlawanan, sekalipun para pemimpinnya dalam tawanan dan ibukota negara dalam pendudukan Belanda.
Dalam konteks ini pula, justru TNI yang biasanya merasakan dampak atas keputusan politik pemerintah, pada akhirnya justru memberikan suplemen bagi para pejuang politik di forum internasional. Diketahui, ketika itu delegasi Indonesia di PBB berhadapan dengan gencarnya arus propaganda yang dijalankan Belanda di dunia internasional; bahwa TNI sudah hilang dan pemerintahan Republik dalam tawanan.
Jalanya situasi politik dan pemerintahan ketika itu memang tak selalu berjalan ideal. Artinya di sana-sini banyak terdapat kekurangan. Maka seandainya terjadi kegawatan di waktu kemudian, maka tentara harus berpegang teguh dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, tak lupa amanat sang Bapak Tentara Indonesia, Panglima Besar Jenderal Sudirman:
“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga.”
@matapadi