Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia
July 3, 2021Ulama, Pemantik Api Perlawanan
July 10, 2021Mempertahankan Republik: Doorstot Naar Djokja 1948
Sudah diperkirakan pasti terjadi oleh pemimpin-pemimpin TNI. Oleh karenanya berbagai upaya sesegera mungkin dipersiapkan, termasuk bagaimana melarikan presiden dan wakilnya yang sudah berjanji akan pemimpin langsung gerilya, juga siasat tempur serta berlakunya pemerintahan militer di daerah-daerah hingga pelosok kampung.
Akan tetapi, sewaktu doorstoot benar-benar terjadi, seketika itu pula muncul perbedaan di antara politisi dan TNI. Perbedaan-perbedaan ini terus berlangsung sampai pasca Serangan Umum.
Sri Sultan yang tetap berada di Jogja, sambil terus memompa kepercayaan kepada seluruh pamong praja agar tidak beralih dari Republik, menjadi person sentral yang menghubungkan berbagai perbedaan pendapat dan sikap terutama antara politisi yang diasingkan di Bangka dengan TNI soal bagaimana jalan Mempertahankan Kemerdekaan.
Panglima Sudirman yang terjun memimpin gerilya berikut para panglima divisi di bawahnya tidak menggubris lagi ajakan perundingan dengan Belanda. Demikian juga Sjafruddin Prawiranegara yang bertindak sebagai care taker Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Sedangkan di sisi lain, dari pengasingannya, presiden dan wakilnya masih menerima ajakan berunding dari Belanda padahal jalan pemerintahan dan komando Angkatan Perang sudah tidak lagi dipegang oleh mereka.
Akan tetapi, di tengah semua perbedaan pandangan dan sikap keras yang bahkan juga saling ditunjukan selama berlangsungnya perjuangan, masing-masing tetap menjunjung kuat rasa persatuan di dalam bingkai Republik sebagai prioritas paling utama. Sehingga siasat untuk membuat perpecahan antara kaum politisi dan militer yang dilakukan oleh Belanda tidak sampai terwujud dan berdampak fatal bagi perjuangan, baik sejak Persetujuan Linggarjati, Agresi Pertama, Persetujuan Renville, hingga pertemuan antara Moh. Roem dan van Roijen pasca Serangan Umum 1 Maret.
“Ingat dan insyaflah, bahwa penderitaan pahit semenjak 19 Desember 1948 itu, disebabkan karena sebagian para pemimpin kita baik sipil maupun militer sama terpikat oleh perundingan, sehingga mereka semua lupa, bahwa Belanda telah bersiap lengkap di depan pintu kita…” Demikian Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Sudirman, mengeluarkan secara tertulis amanat untuk diedarkan kepada seluruh komandan satuan pada 1 Mei 1949.
Amanat itu dipungkasi dengan kalimat, “Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan sesuatu negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga”.