DARI KEBUN SAMPAI BEKAS GEDUNG VOLKSRAAD
May 30, 2022PEMAKAMAN SUKARNO TAK SESUAI WASIAT?
June 21, 2022HARI AKHIR SANG PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
Barangkali memang sudah menjadi kelaziman sejarah di negeri ini, manusia-manusia berjiwa besar berakhir pada periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan.
Minggu, 21 Juni 1970. Menjelang pukul 07.00, pintu kamar rumah sakit terbuka. Dokter Mahar Mardjono mempersilakan anak-anak Sukarno. Guntur, Megawati, Sukmawati, Rahmawati, Guruh menyaksikan detik-detik terakhir ayahnya. Mereka telah siap menerima takdir apapun.
Semalam, mereka menemani ayahnya.
Hartini, istri yang selalu setia merawat, berada di dekat pembaringan. Dari sekian banyak istri, Hanya Hartini-lah yang mendampingi Sukarno di masa-masa kejatuhannya hingga wafat. Ia dengan tekun dan setia melayani Sukarno hingga detik terakhir. First Lady yang tak diakui.
Rahmawati menitikkan air mata. Semua dalam ruangan menangis.
Tampak pula Dewi Ratna Sari dan Karina yang datang langsung dari Paris.
Dalam malam dan kalutnya suasana. Tiba-tiba harapan seakan bersemi. Jari tangan Sukarno bergerak, seolah-olah hendak merengkuh Karina, anak Sukarno dengan Dewi Ratna Sari. Anak yang tidak pernah dilihatnya seumur hidup.
Namun, keajaiban itu hanya sesaat.
Semakin malam, kondisi Sukarno semakin memburuk. Kesadarannya menurun. Malam terus merambat, Sukarno tak sadarkan diri. Jarum jam menunjuk angka empat kurang sepuluh menit. Sukarno koma.
Pagi yang cerah, tetapi ruangan berselimut mendung. Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga ayahnya. Detik pun berganti menit. Anak-anak Sukarno dari Fatmawati itu mengucap takbir.
“Allaaaah…” bisik Sukarno pelan seiring napasnya yang terakhir.
Pukul 07.00, Sukarno benar-benar menghembuskan napas penghabisan.
Pesona Putra Sang Fajar itu seketika padam. Berakhir tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat. Sepanjang hari-hari itu adalah duka. Tangis pun pecah.
Dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, berita meninggalnya Sukarno terus menyebar ke seluruh penjuru.
Dalam Komunike Medis yang dikeluarkan tim dokter dengan ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono di Jakarta tertanggal 21 Juni 1970 dinyatakan: (1). Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Sukarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun. (2). Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Sukarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Sukarno meninggal dunia. (3). Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Sukarno hingga saat meninggalnya. Komunike Medis ini menjadi acuan jam kematian Sukarno pukul 07.00.
“Waktu saya mendengar beliau meninggal pada tanggal 21 Juni 1970, cepat saya menjenguknya ke rumah sakit. Setelah itu barulah saya berpikir mengenai pemakamannya… Saya perintahkan untuk mengangkut jenazahnya ke Wisma Yaso,” kata Soeharto.
Kakak kandung Sukarno, Sukarmini, tak henti membaca ayat-ayat Alquran di dekat jenazah.
Hartini tiba kembali di rumah sakit sekitar pukul 08.30. Begitu masuk kamar, ia tiba-tiba pingsan. Beberapa menit setelah sadar, ia pun mencium jasad suaminya. Dewi yang datang bersama Karina tak mampu menyembunyikan duka.
Jenazah Sukarno disemayamkan. Para pelayat tak henti berdatangan. Hartini, Hariyatie, dan Yurike Sanger menuju Wisma Yaso.
Senin, 22 Juni 1970, jenazah Sukarno dilepas Presiden Soeharto. Peti jenazah dibawa ke lapangan udara militer Halim Perdanakusuma.
Sepanjang jalan yang dilewati, rakyat berjejal berdesakan. Teriakan-teriakan histeris terdengar dari sana-sini, pekikan ‘Hidup Bung Karno’ menggema. Pekikan yang terdengar tatkala manusianya sudah tak bernyawa lagi, tak hidup lagi.
Sebelum ke Blitar, jenazah diterbangkan ke Malang. Di sepanjang jalan sampai Blitar, rakyat telah berjejalan. Semua tempat sesak. Padat.
Pohon-pohon hanya membisu ditunggangi. Seorang manusia besar yang telah kaku jasadnya di mobil jenazah itu membuat jalan-jalan macet total.
Di rumah keluarga Sukarno di Blitar, masyarakat berjubel. Sehari sebelumnya, gelombang massa telah menyemut. Dengan kesedihan, dengan air mata, dengan segala kenangan, mereka akan mengantar pemimpinnya pergi. Pergi tak pulang lagi.
Menjelang pukul 16.00, Panglima TNI Jenderal M. Panggabean memimpin upacara pemakaman. “Peti jenazah yang ditutup Sang Saka Merah Putih diturunkan pelan masuk ke liang lahat diiringi tembakan salvo sebagai penghormatan penghabisan,” kenang Rahmawati.
Rakyat, yang begitu mencintainya, berkerumun menjadi lautan manusia. Menghantarkanya ke peristirahatan terakhir. Menghantarkanya ke gerbang kemerdekaan abadi, di sisi Allah.
Sukarno, Putra Sang Fajar mangkat. Purna sudah janji bakti pada negeri.