Agus Salim dan Ide Khilafah
May 9, 2017Cak Nun dan Lengsernya Suharto
May 13, 2017Orang-Orang Kalah, Buya Hamka
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”.
***
Tanggal 27 Januari 1964, siang hari usai Buya Hamka memberikan pengajian mingguan di Masjid Agung, Buya Hamka di jemput oleh empat orang polisi yang berpakaian preman, lengkap dengan Surat Perintah Penahanan.
Dalam surat perintah itu, Hamka di tuduh dengan dugaan melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963, dan sebuah tuduhan subversi dialamatkan kepadanya. Dua tahun lebih Buya Hamka berada dalam tahanan yang sepi, dan disaat itu juga Buya telah menyelesaikan karya tafsirnya yang populer, Tafsir al-Azhar.
Situasi politik ketika itu, PKI merupakan kekuatan politik yang dominan, tidak hanya mendominasi dalam bidang politik, tetapi juga dalam sastra dan budaya.
Pada tahun-tahun itu juga telah terjadi peristiwa yang oleh beberapa tokoh disebutnya sebagai Prahara Budaya, sebuah peristiwa ‘peperangan’ sastra dan budaya, antara sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan yang tergabung dalam Manikebu (Manifest Kebudayaan).
Sebagai salah seorang sastrawan, Buya Hamka termasuk yang menjadi sasaran dalam pertikaian budaya tersebut. Pada tahun 1963, Harian Rakyat yang berbau komunis menempatkan berita headline yang menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Vijck adalah hasil jiplakan oleh Hamka.
Sedangkan Harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.
Sejak saat itu, berbulan-bulan lamanya kedua koran komunis itu sering membuat tulisan-tulisan yang mendiskreditkan Hamka. Tidak hanya menyerang karya sastranya, bahkan juga menyerang secara pribadi. Namun Hamka tetap tenang dan tidak merasa terusik dengan hujatan-hujatan itu.
Selain Buya Hamka, sejumlah satrawan yang kontra PKI diserang, seperti HB. Jasin, Sutan Takdir Alisjahbana, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, dan Bur Rasuanto. Buya Hamka yang aktif di Muhammadiyah dan Masyumi yang jelas-jelas kontra PKI menjadi sasaran tembak.
Semasa Orde Lama, Buya Hamka juga termasuk tokoh yang rajin mengkritik pemerintahan Sukarno terkait dengan kedekatannya dengan PKI, selain juga Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Sukarno.
Bahkan majalah yang diterbitkannya, Panji Masyarat, pernah dibredel Sukarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Selama hidupnya, Buya Hamka dikenal sebagai sosok yang pemaaf dan selalu berusaha menghindari konflik, juga dikenal sosok yang tidak pernah menaruh dendam. Pun dengan Pram, yang begitu keras terhadap Hamka. Hingga kelak Pram menghendaki anak perempuannya, Astuti, harus menikah dengan seseorang yang seiman.
Suatu ketika, Astuti, anak perempuan Pram datang kepada Buya Hamka. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, tanpa ragu, Hamka pun meluluskan permohonan itu. Daniel Setiawan, calon menantu Pram, langsung dibimbing oleh Hamka membaca dua kalimat syahadat. “Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka,” ucap Pram.
Hal serupa, juga dibuktikan Buya Hamka saat mendapat kabar tentang meninggalnya Bung Karno pada 16 Juni 1970. Saat Kafrawi, Sekjen Depag dan Mayjen Suryo, ajudan Presiden Suharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku,” demikian isi pesan Bung Karno kepada Hamka.
Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Sukarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.
Begitulah Buya Hamka, yang tak pernah dendam kepada siapapun. Termasuk terhadap orang orang yang menganggap dirinya sebagai rival.
Referensi : buku Ayah; Kisah Buya Hamka, Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim, Majalah Horison, Tempo.co.id, Republika.co.id.