
Orang-Orang Kalah, Buya Hamka
May 9, 2017
Resimen Pelopor dan Senapan Legendaris AR-15
May 16, 2017Cak Nun dan Lengsernya Suharto
Menjelang proses lengsernya Suharto dari kursi presiden, menurut Cak Nun (Emha Ainun Najib), bahwa Presiden Suharto tidak pernah mengundang sembilan orang, termasuk dirinya untuk bertemu pada tanggal 19 Mei 1998.
Namun, justru Cak Nun dan keempat orang lainnya yaitu Nurcholish Majid (Cak Nur), Malik Fajar, Oetomo Dananjaya dan S. Drajat, sebelumnya telah berkirim surat kepada Presiden Suharto tertanggal 16 Mei 1998. Isi dari surat itu menyatakan bahwa sebaiknya Suharto turun dari jabatannya. Dan, ditawarkan pula untuk memilih salah satu cara diantara empat cara dalam melakukannya.
Isi dari surat itu juga kemudian dikonferensi-perskan di Hotel Wisata pada 17 Mei 1998. Lalu oleh Mensekneg, Saadillah Mursyid, disampaikan kepada Presiden Suharto pada 18 Mei 1998. Malam harinya, dihari itu juga selepas Shalat Isya, Presiden Suharto menelpon Cak Nur, yang kemudian oleh Cak Nur diteruskan hasilnya kepada empat orang lainnya.
Melalui telepon, Presiden Suharto mengatakan setuju dengan isi surat itu, dan dirinya siap untuk melepaskan jabatan, tetapi dengan meminta tolong agar ditemani selama proses peralihan kekuasaan, serta bersama-sama menjaga agar situasi aman dan tidak semakin terancam oleh anarkisme, penjarahan dan lain-lain.
Juga, disepakati untuk bertemu dengan lima orang yang menandatangani surat tersebut pada tanggal 19 Mei pagi jam 9.00 WIB. Dalam pertemuan tersebut Presiden Suharto juga mengusulkan bagaimana kalau beberapa orang tua juga dilibatkan. Akhirnya, dari lima orang itu bertambah menjadi sembilan orang, termasuk KH. Ali Yafi dan Gus Dur.
Sejatinya, pertemuan sembilan orang dengan Presiden Suharto pada 19 Mei 1998 itu tidak lebih dari basa-basi. Ibarat rangkaian dalam sebuah acara pernikahan, malam itu seperti malam resepsi, sedangkan untuk akad nikah sudah terjadi sebelumnya. Pada 18 Mei 1998 malam, Suharto sudah mengambil keputusan untuk lengser.
Bersama dengan sembilan orang itu, menurut Cak Nun, Suharto ngobrol santai saja, tidak ada ketegangan, sehingga 16 peledak yang tersebar di delapan pom bensin dan delapan titik jalan tol yang mengitari Istana tidak perlu dinyalakan. Hanya ‘mercon’ kecil yang dipelajari oleh Suharto dalam silaturahmi itu, yaitu pernyataan “tidak jadi Presiden tidak patheken”.
Dari proses turunnya Suharto, secara pribadi Cak Nun menyebut ada hal yang penting baginya, yakni 5 menit sebelum pertemuan, di luar ruangan, Cak Nur dan Cak Nun berjabat tangan untuk saling berjanji bahwa sesudah Suharto turun, pada kekuasaan berikutnya, keduanya bersepakat untuk melarang diri terlibat atau menjadi pejabat.
Sementara itu, masalah yang tersisa dari lengsernya Presiden Suharto adalah bagaimana formula dan aplikasinya di dalam puncak perpolitikan nasional. Bagi Cak Nun, tidak tersepakatinya formula itulah yang menjadi salah satu sebab kenapa akhirnya Reformasi 1998 itu bukan hanya gagal dan omong kosong, tetapi juga palsu, bergelimang kemunafikan. Karena, karakter kemunafikan mengizinkan putih adalah merah, merah adalah hijau, hijau adalah biru, biru adalah coklat, demikian seterusnya tanpa batas.
Meski demikian mungkin juga ada sesuatu yang istimewa. Bahwa, Suharto yang menurut pengetahuan dunia diseret turun dari kursi kekuasaan, dengan dosa-dosa nasionalnya yang menggunung, ‘mestinya’ ia lari ke luar negeri dan meminta suaka, dan nantinya meninggal di pengasingan.
Tetapi, Suharto hidup tentram di Cendana, menyirami kembang, memomong cucu-cucunya yang berkunjung, merokok klobot dan terus tersenyum. Juga tidak ada demo kaum aktivis ke Cendana. Warisan-warisannya semisal TMII serta ribuan Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila tidak ada yang dibakar, diambrukkan, atau dimusnahkan.
Sesudah memahami bahwa reformasi ternyata cuma istilah yang dijadikan jalan untuk ganti berkuasa, Cak Nun memutuskan segera kembali ke wilayah kebudayaan dan spiritualitas kemanusiaan. Kepada Suharto, yang tersisa olehnya tinggalah kewajiban memenuhi janji untuk terus memandu beliau melakukan proses Husnul Khathimah, yang tampaknya juga tidak dipercayai oleh siapapun.
Cak Nun sempat menuliskan Teks Empat Sumpah yang secara legawa ditandatangani oleh Suharto. Yakni, sumpah untuk: (1) Tidak akan berupaya menjadi Presiden lagi, (2) Tidak akan turut campur pada setiap proses pemilihan Presiden, (3) Siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan seluruh kesalahannya, (4) Siap mengembalikan semua harta rakyat yang ada di tangannya berdasarkan klaim Pengadilan.
Suharto pernah secara pribadi berkata kepada Cak Nun: “Cak, kalau gerakan mahasiswa mungkin bukan tidak menakutkan, tetapi kalau rakyat menjarah, saya menggigil dan ketakutan…”.
Referensi : artikel adaptasi dari kenduricinta.com.