![](https://www.matapadi.co/wp-content/uploads/2017/05/orang-digaris-depan.jpg)
Long March Ribuan Saija dan Adinda
May 17, 2017![](https://www.matapadi.co/wp-content/uploads/2017/05/Embrio-TNI.jpg)
Masa-Masa Awal Terbentuknya TNI
May 18, 2017Suharto, Kiai As'ad dan Pancasila
Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Presiden Suharto di arena Muktamar NU ke 27, di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984. Sumber foto ; repro dari koleksi Pondok Pesantren Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Salah satu warisan KH As’ad Syamsul Arifin (kini Pahlawan Nasional) yang monumental adalah penerimaannya terhadap Asas Tunggal Pancasila. Ketika itu, banyak sekali ulama yang menolak digantikannya asas Islam dengan asas Pancasila. Terutama dari kalangan NU.
Dalam sebuah kesempatan, Kholid Mawardi, mantan duta besar Indonesia untuk Syiria dan Lebanon 1984-1988 dan mantan ketua GP Anshor, menceritakan kesan Presiden Suharto menjelang pertemuaanya dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin ;
“Aku nek karo kiai-kiai iku gemeter.” (saya kalau berhadapan dengan para kiai itu gemetar).
***
Ketika itu, Presiden Suharto berniat menerapkan Asas Tunggal Pancasila dalam berpartai dan berorganiasasi. Hal ini tampaknya dilakukan karena tidak lepas dari kondisi pada era pemerintahan sebelumnya. Dimana, ketika masa Orde Lama, pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat, yang disebabkan karena pertikaian antar partai politik yang berlatar belakang ideologi.
“Penerapan asas ini mesti berhasil dengan cara apa pun”, ucap Suharto.
Mengetahui gejolak di masyarkat, Presiden Suharto kemudian mengutus Moerdiono dengan beberapa tokoh Islam lainya, seperti Gus Dur. Namun pada pertemuan antara Murdiono dan Gus Dur mengalami jalan buntu. Suharto sendiri sadar, untuk melaksanakan niatnya itu dibutuhkan figur untuk menjembatani hingga Asas Tunggal Pancasila bisa diterima. Sedangkan Kiai As’ad sendiri tak ingin umat Islam bentrok dengan pemerintah.
Hingga akhirnya pada September 1983, Kiai As’ad menemui Presiden Suharto untuk meminta izin pelaksanaan Munas NU di Pesantren Sukorejo, Situbondo. Sekaligus dalam kesempatan itu Kiai As’ad bertanya kepada Presiden Suharto;
“Pak Harto ini maunya gimana? Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama? Terus membuang agama Kristen dan lain lain? Jika Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai disini…,”
“Oh…gak gak gak. Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila”, jawab Presiden Suharto.
Presiden Suharto pun kemudian menegaskan; “Jelas Pancasila sebagai dasar negara, jelas agama sebagai asas hidup kita bersama.”
**
Untuk lebih meyakinkan bahwa Asas Tunggal tidak bertentangan dengan agama, Kiai As’ad kemudian berdiskusi dengan Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Machrus Ali (Kediri), Kiai Ali Ma’shum (Yogya) dan kiai Masykur (Jakarta). Hingga pada kesimpulan bahwa Asas Islam dan Asas Pancasila merupakan dua entitas yang berbeda, namun tidak bertentangan dan keduanya tidak bisa dicampuradukan.
Kiai As’ad juga meminta Kiai Ahmad Siddiq untuk menyusun redaksi argumentasi penerimaan pancasila sebagai asas tunggal organisasi NU. Setelah itu Kiai As’ad dalam pertemuan berikutnya dengan Presiden Suharto berfatwa; Wajib hukumnya bagi umat Islam, termasuk alim ulama, menerima ideologi Pancasila.
Dan, atas fatwa Kiai As’ad ini, pada keesokan harinya beberapa media nasional menempatkan pemberitaan dalam headline-nya, salah satunya bertajuk “Wajib Hukumnya Bagi Umat Islam Menerima Pancasila”
Kini bagi umat Islam, menerima Pancasila sebagai asas tunggal merupakan ijtihad dalam membuktikan watak ‘rahmatan lil alamin’ untuk Indonesia.
Referensi : buku Biografi Perjuangan Kiai As’ad, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat.