Pesantren, Kebangkitan dan Perjuangan
May 17, 2017Suharto, Kiai As’ad dan Pancasila
May 18, 2017Long March Ribuan Saija dan Adinda
Keterangan foto; foto ini merupakan foto ketika rombongan pasukan Siliwangi yang mulai melakukan Hijrah ke wilayah Republik paska Persetujuan Renville. Perempuan dan anak-anak memang banyak di ikut sertakan untuk Hijrah karena banyak diantaranya merupakan keluarga dari para prajurit Siliwangi. Sumber foto; koleksi dari Dienst voor, www.gahetna.nl.
Masih segar dalam ingatan Letnan (Purn) Alleh, menjelang keberangkatan mereka kembali ke Jawa Barat, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) membagikan sarung baru kepada seluruh pasukan.
Sarung itu ternyata sangat berguna bagi mereka, bukan saja sebagai selimut penghangat tidur namun juga bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat darurat. Mereka bisa menyeberang Sungai Serayu dengan sambungan sarung yang beruntai.
Namun, proses penyeberangan itu tetap meminta korban, terutama anak-anak dan perempuan yang hanyut oleh hantaman arus sungai yang deras. Dengan hati hancur, mereka harus menyaksikan beberapa bocah dan perempuan yang ikut dalam rombongan hanyut ditelan derasnya air sungai.
“Ayah dan suami-suami mereka hanya bisa berteriak dan menangis putus asa…” kenang Alleh. Dan, ia juga menjadi saksi bagaimana para ibu yang baru melahirkan “anak-anak maung” di tengah perjalanan harus rela memberikan bayi-bayinya kepada penduduk desa yang dilewati.
“Ya, daripada bayi-bayi itu menderita dan menjadi ‘beban’ selama perjalanan, lebih baik diselamatkan oleh para penduduk…”, kata mantan prajurit Siliwangi dari Yon 29 pimpinan Kapten Hoesinsjah itu.
Letnan (Purn) JC. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, melukiskan proses long march sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan tak jarang ia harus menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom pesawat-pesawat yang dikendalikan teman sebangsanya.
“Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini…”.
Mereka semua adalah orang-orang biasa yang rela menumpahkan darah dan air matanya di garis depan. Mereka memang tak menginginkan namanya dikenang.Tetapi, cerita-cerita mereka adalah nyata.
Kita tidak tahu sejauh mana orang bersedia melihat sejarah bangsanya. Namun, kita pun sama tahu, sebagian besar anak-anak kita sekarang tak lagi mengenal generasi-generasi sebelumnya.
“Bangsa yang besar….” kata Bung Karno (yang kini terlalu sering dikutip oleh banyak orang) “adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawan mereka”. Tetapi, bagaimana kita akan menghormati jasa para pahlawan jika secara emosional generasi saat ini diputuskan dengan sejarah bangsanya.