Orang Belanda Pertama Yang Dihukum Mati di Nusantara
May 23, 2017Islam dan Komunisme di Nusantara
May 30, 2017Aceh dan Belanda, Antara Madu Dibalas Tuba
Di tahun 1872, ketika Belanda sibuk bersiap-siap hendak menyerang Aceh, Multatuli dengan sedih pernah mengingatkan sebuah peristiwa pengakuan ketika berbicara dalam suatu pertemuan di Wiesbaden. Katanya, “Ketika Belanda memperjuangkan kemerdekaannya dari Spanyol, Kerajaan Aceh-lah yang pertama mengakui Belanda sabagai satu bangsa yang merdeka. Namun, kini Belanda-lah satu-satunya negara yang ingin manghapuskan kedaulatan Aceh. Madu dibalas tuba.”
Sekitar dua abad sebelumnya, pada 23 Agustus 1601, tiba rombongan Belanda yang ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal antara lain: Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke dan Sonne di Pelabuhan Aceh.
Kedatangan mereka adalah atas perintah Pangeran Maurits. Keduanya mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Saidi Mukammil.
Surat ini tertulis dalam bahasa Spanyol yang berisi penyesalan Pangeran Maurits atas kelakuan jelek orang-orang Belanda di Aceh; meminta diadakannya perbaikan hubungan antara Belanda dengan Aceh; kesediaan membayar ganti rugi untuk menebus kelakuan jelek orang Belanda sebelumnya di Aceh, dan mengantarkan berbagai hadiah.
Surat tersebut berbentuk piagam yang dihiasi ukiran tangan cantik dengan huruf-huruf bunga, huruf-huruf yang terbuat daripada air emas, dan ditanda-tangani oleh Prins Maurits sendiri.
Menurut De Roo, surat Pangeran Maurits ini ditemukan ketika Keraton (Dalam) sudah diduduki oleh Belanda di tahun 1874 dan tersimpan dalam keadaan baik. Surat tersebut ditemui oleh seorang fuselir Belanda ketika diadakannya penyerbuan. Lalu, olehnya, dijualnya kepada L de Scheemaker yang telah membeli naskah itu untuk pemerintah “Hindia Belanda”.
Selain membawa surat dari Pangeran Maurits, rombongan de Roy dan Bicker juga membawa surat introduksi dari raja di Pulau Amasyuan, di Afrika Timur. Tampaknya, Pangeran Maurits telah mengetahui adanya hubungan baik antara Aceh dengan raja di Afrika Timur, dan ia memanfaatkannya untuk keperluan diplomatik Belanda dengan Aceh. Demikian surat dari Pangeran Maurits, pun disambut dengan upacara kebesaran di Aceh.
Dalam audiensi dengan Sultan, Bicker menunjukkan rasa kecewa dan menyesal atas perbuatan van Caerden. Dia menjanjikan sepulangnya ke Belanda nanti akan menuntut maskapai cukongnya van Caerden supaya membayar ganti rugi kepada pemilik kapal Aceh yang telah dibajak oleh van Caerden. Sesudah di Belanda, janji Bicker ini dipenuhi dan kemudian dibayarkan kepada pemilik kapal Aceh yang telah dirampok van Caerden.
Melalui misi diplomatik ini, Bicker juga dapat membebaskan Frederick de Houtman dan 8 orang tawanan Belanda lainnya di Aceh.
Selanjutnya, Kesultanan Aceh ganti mengutus delegasi untuk meninjau langsung negeri Belanda. Tanggal 20 Juli 1602, rombongan kapal Belanda bersama delegasi Aceh tiba dengan selamat di Zeeland, negeri Belanda.
Utusan Aceh yang berangkat bersama kapal Belanda ini terdiri dari Abdul Hamid sebagai ketua delegasi, sebagai anggotanya adalah Sri Muhammad, Laksamana Aceh dan Mir Hasan. Selain itu, seorang juru bahasa bernama Loenard Werner alias Pusque Camis, asal Luxemburg turut dalam rombongan delegasi Aceh. Juga turut dalam rombongan para pengiring seperlunya dan tidak ketinggalan saudagar-saudagar Arab.
Maksud kepergian utusan Aceh ini, selain muhibah, juga untuk mempelajari sejauh mana Aceh dapat mengadakan hubungan dengan Belanda apabila Aceh sabagai gantinya memutuskan sama sekali tali dagang dengan Portugis.
Emmanuel Van Meteren menceritakan adanya keinginan Sultan melalui delegasi Aceh untuk mengetahui benar tidaknya cerita Portugis yang mengatakan bahwa:
“datter geen witte menschen sijn, dan alleen de Ondersaten van den Coningh van Spaengien ende Portugael, waeromme sde onsen voor zeerroovers geacht hadden totdat se straks beter dienaengaende werden onderricht”
(bahwa tidak ada orang berkulit putih selain dari warga yang bernaung di bawah Raja Spanyol dan Portugis, dengan sebab mana mereka menganggap bahwa bangsa kita adalah bajak laut belaka, sampai nanti mereka sendiri mendapat tahu hal sebenarnya).
Ketika masa kunjungan delegasi Aceh, Pangeran Maurits berada di medan pertempuran yang bermarkas besar di suatu kampung bernama Grave, dan delegasi Aceh berkeinginan untuk langsung menemui Maurits di tempatnya. Dengan diiringi oleh pihak Belanda, pada tanggal 1 September 1602, berangkatlah delegasi dari Middelburg menuju markas Maurits. Dan, Pangeran Maurits telah mengurus upacara sambutan yang cukup mentereng. Dalam kesempatan itu diserahkan surat-surat dan segala bingkisan.
Salama bersama Maurits, dalegasi dipertunjukkan hasil-hasil perang menghadapi Spanyol dan turut pula memperhatikan medan perang. Delegasi Aceh juga menggunakan kesempatan itu untuk meninjau kota dan kampung-kampung di Belanda.
Kemudian, sesudah berada kurang lebih 16 bulan (hingga 18 Desember 1603), delegasi Aceh yang berkunjung ke Belanda pun pulang bersama rombongan Steven van der Hagen. Dalam perjalanan pulang, rombongan Steven van der Hagen juga menyinggahi India, di mana dengan ini Belanda berhasil pula memperoleh dari Sultan Aceh surat perkenalan (introduksi) untuk Sultan Akbar, salah seorang raja besar di India pada zaman itu.
Di masa ini, Sultan Aceh memang mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan Sultan Akbar. Sehingga, dengan surat perkenalan itu Belanda mendapat fasilitas dagang di bandar-bandar besar di India, seperti Cambay (Gujarat). Juga, Sultan dengan rela telah memberi surat perkenalan kepada utusan Belanda itu untuk Raja Kalikut, Raja-raja Benggali dan Sailan. Sedangkan di Aceh, Belanda diizinkan untuk mendirikan satu kantor dagang oleh Sultan, yang dibuka di ibukota Aceh Daru’s-Salam.
Sehubungan dengan keberangkatan utusan Aceh ke Belanda, maka dapat dicatat bahwa kerajaan berdaulat yang pertama-tama mengakui lahirnya suatu negara Belanda yang baru saja berdaulat di zaman itu secara de jure dan de facto adalah Kerajaan Aceh. Bahkan, ekonomi dan hubungan internasional Belanda begitu tertolong oleh Aceh. Oleh karenanya, Multatuli pun sangat mencela tindakan Belanda terhadap Aceh.
Referensi: buku Aceh Sepanjang Abad, Kronik Peralihan Nusantara.