Politik Kolonial dan Kekhawatiran Terhadap Dakwah Islam
May 7, 2019Thamrin dan Bahasa Indonesia Dalam Volskraad
May 17, 2019Surat Terbuka : Mempertanyakan Kembali Kesaksian Eddie Samson dalam Insiden Bendera Surabaya
Surabaya, 11 Mei 2019.
Sebelum membaca surat terbuka ini lebih lanjut, ijinkan kami memperkenalkan siapa sosok Eddie Samson. Beliau adalah Ketua Perkumpulan Indo Club Surabaya dan pernah menjadi anggota Cagar Budaya Pemkot Surabaya. Beberapa minggu yang lalu kami melihat melalui media sosial bahwa, pada tanggal 28 Maret 2019, Eddie Samson mendapatkan penghargaan dari Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.
Dengan semua latar belakang ini, beliau seringkali menjadi ‘jujugan’ para pencari informasi sejarah kota Surabaya, baik dari media massa hingga pelajar dan mahasiswa, termasuk para pencari informasi dari luar negeri.
Surat terbuka ini berkait dengan kesaksian Eddie Samson yang mengaku sebagai salah seorang saksi dalam Insiden Perobekan Bendera di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit Surabaya) pada tanggal 19 September 1945. Insiden Perobekan Bendera ini memiliki nilai strategis sekaligus historis yang cukup penting, bukan hanya bagi Kota Surabaya, tetapi juga bagi berlangsungnya api revolusi di Indonesia.
Peristiwa ini merupakan pemantik api revolusi di Indonesia; sebuah peristiwa awal di mana Belanda menunjukkan dengan nyata keinginan dan nafsunya untuk mencengkeram kembali koloninya, yang kemudian disambut dengan tindakan nyata para pemuda Surabaya.
Para saksi mata atas peristiwa ini telah meninggal dunia. Tidak sedikit di antara mereka yang meninggalkan catatan kesaksian bagaimana kronologis peristiwa tersebut berlangsung. Sayangnya, setelah lebih dari 70 tahun peristiwa itu berlalu, catatan-catatan kesaksian mereka cukup sulit untuk didapatkan. Buku-buku memoar mereka menjadi langka di pasaran dan sebagian memoar tersimpan di rak-rak arsip yang jarang terakses ke publik.
Di sisi lain, Eddie Samson tampil di muka, mengaku sebagai saksi yang melihat langsung bagaimana peristiwa itu terjadi.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa kesaksian Eddie Samson di sini sangat bertolak belakang dengan arsip kesaksian dari belasan orang lainnya, baik tokoh masyarakat pada masa itu maupun warga biasa yang ada di lokasi peristiwa. Bahkan, arsip kesaksian dari seorang tentara Belanda yang bernama Sersan Lou Balls pun tidak sejalan dengan kesaksian seorang Eddie Samson.
Eddie Samson, dalam kesaksiannya menitikberatkan bahwa MR Ploegman, sebagai tokoh kelompok Indo Belanda dan menjabat sebagai ketua IEV (Indo Europees Verbond), ketika itu menyeberang jalan dari gedung seberang Hotel Yamato (kini gedung Badan Pertanahan Nasional) kemudian tiba-tiba dia ditangkap dan ditusuki oleh massa rakyat Surabaya hingga mati.
Sedangkan dari berbagai sumber arsip dan memoar dari belasan saksi maupun peneliti lain mengatakan hal yang berbeda. Secara garis besar dituliskan; pasca berkibarnya bendera Belanda, massa rakyat berkumpul di depan Hotel Yamato. Suasana memanas. Residen Sudirman selaku pejabat pemerintah Kota Surabaya datang ke hotel untuk berunding dengan MR Ploegman. Selaku pejabat Gunseikan, Residen Sudirman menjelaskan kepada Ploegman dan orang-orang Belanda di sana agar mematuhi peraturan yang dikeluarkan Tianbucho dan Kempetaicho sesuai yang termuat di koran Soeara Asia tertanggal 21 dan 30 Agustus 1945. Beliau menjelaskan bahwa dengan mengibarkan bendera Belanda maka mereka telah berbuat keonaran dan bendera itu harus diturunkan kembali.
Namun demikian, reaksi yang diberikan Ploegman di luar dugaan. Ia mengatakan, “Republik Indonesia tidak ada!!”, Lalu ia pergi berlalu. Tak lama kemudian Ploegman kembali, ia menodongkan sepucuk pistol ke arah kepala Residen Sudirman. Seorang anak buah Sudirman yang bernama Sidik menendang pistol yang ditodongkan itu kemudian meletus. Perkelahian pun pecah di lobbi hotel yang berujung tewasnya Ploegman.
Di luar hotel, Hariyono dan Kusno Wibowo berhasil memanjat menara dan merobek bendera. Baik Ploegman maupun Sidik mengalami luka berat dan keduanya dilarikan ke RS Simpang, namun sayangnya nyawa mereka berdua tidak tertolong. Keduanya meninggal berselang hari saat dalam perawatan di rumah sakit.
Kisah kesaksian versi Eddie Samson telah tersebar luas, di antaranya dimuat oleh buku hard cover setebal 160 halaman terbitan Asia Maior berjudul “Soerabaja, Beeld van een stad” dan sebuah film dokumenter VPRO oleh Adriaan Van Dis berjudul “Van Dis in Indonesie” dengan potongan video tercantum di atas.
Selain mengatakan bahwa Ploegman terbunuh saat menyeberang jalan, di buku Asia Maior juga disebutkan bahwa keributan reda setelah pasukan Jepang hadir mengendalikan massa. Di sisi lain, kesaksian-kesaksian menyebutkan bahwa setelah Merah Putih dikibarkan, massa membubarkan diri. Koran Jawa Pos pun pernah memuat kesaksian versi Eddie Samson dalam salah satu artikelnya dalam ediai tanggal 19 September 2016.
Lalu, mengapa hal ini penting dan perlu didiskusikan?
Eddie Samson yang hadir mengaku sebagai saksi dengan mudah dipercaya publik, karena latar belakang beliau dan sulitnya akses atas arsip dan informasi dari para pelaku yang telah meninggal dunia. Siswa sekolah datang mewawancara dan menuliskan hasilnya pada blog maupun media massa menyebar dengan mudah, jauh lebih mudah diakses daripada arsip-arsip kesaksian asli.
Disadari atau tidak, kesaksian Eddie Samson sangat mendiskreditkan karakter para pejuang Surabaya pada masa Revolusi ’45. Mereka digambarkan sebagai sosok yang buas dan haus darah, membunuh tokoh Indo Belanda tak berdosa yang berjalan menyeberang tanpa senjata.
Disadari atau tidak, secara tidak langsung Eddie Samson menyebut kesaksian-kesaksian dari Bung Tomo, Pak Jasin Komandan Polisi Istimewa, Mayjen (purn) Hario Kecik dan lain-lainnya adalah bohong belaka.
Kesaksian Eddie Samson tanpa disadari telah merubah jalannya cerita sejarah, sebuah PEMBIASAN yang menyudutkan.
Buku Asia Maior, film dokumenter dari Adriaan van Dis dan artikel Jawa Pos menggunakan kesaksian tunggal dari Eddie Samson seorang, tanpa melakukan klarifikasi dan komfirmasi dari sumber lain.
Eddie Samson, yang saat peristiwa itu berlangsung mengaku masih anak-anak, melihat peristiwa Insiden Bendera itu dari kejauhan. Di mana tidak mungkin melihat keadaan di depan hotel dari gedung Palang Merah (kini BPN). Adanya perundingan antara Sudirman dengan Ploegman adalah satu bagian yang sangat signifikan. Arogansi Ploegman menjadi faktor penting meningkatnya eskalasi ketegangan.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan bagaimana sudut pandang kolonial mampu mempengaruhi dan turut mendominasi historiografi Indonesia, yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Tanpa adanya reaksi dari pihak Indonesia, maka bisa dipastikan publik akan beranggapan bahwa sumber-sumber Belanda adalah fakta sejarah yang benar.
Sekedar informasi, pada bulan Juli 1973, salah seorang saksi veteran Insiden Perobekan Bendera yang bernama Budi Tjokrodjojo menuliskan sebuah artikel di media massa tentang kegelisahan atas banyaknya kesaksian palsu sekitar peristiwa tersebut. Dia berharap agar pemerintah dan instansi terkait segera mengadakan diskusi atau seminar membahas peristiwa ini untuk meluruskan sejarah. Arsip yang kami temukan di Perpustakaan Leiden itu tidak berkelanjutan, kemungkinan memang tidak mendapatkan respon.
Kami telah beberapakali mengundang Eddie Samson untuk hadir dalam diskusi terbuka namun selalu mendapatkan penolakan. Tidak ada yang personal antara kami dengan Eddie Samson. Apa yang kami lakukan adalah semata-mata murni perjuangan meluruskan sejarah dan mengembalikan nama baik para pahlawan pendahulu kami.
Hampir setengah abad berlalu sejak terbitnya tulisan veteran Budi Tjokrodjojo. Humas Pemerintah Kota Surabaya telah menolak mengadakan sebuah seminar membahas peristiwa dan sejarah Insiden Perobekan Bendera.
Lalu, mungkinkah Prodi Sejarah Universitas Airlangga sebagai institusi akademis berkenan untuk memfasilitasi pertemuan sekaligus membuat sebuah ajang diskusi ilmiah? Semoga ada kepedulian, untuk sejarah dan masa depan Indonesia.
Hormat kami…
– Ady Setyawan, penulis buku “Surabaya, Di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?”.
– Marjolein van Pagee, Sejarawan Belanda.
– Rintahani Johan, Sejarawan Indonesia.
– Arif Yanuar, Ketua Komunitas Sejarah. “Roodebrug Soerabaia”.
– Heri Lentho, Koordinator Surabaya Juang dan Seniman.
– Kuncarsono Prasetyo, Inisiator Gerakan Surabaya Mbois.
– Dimas Adi, Aktivis Sejarah Revolusi Indonesia, Mahasiswa Polandia.