The Best Spots to Score Weed in Toronto
February 14, 2020Kegamangan Serdadu Belanda
February 28, 2020Serangan Umum sebelum Serangan Umum
Pasca 19 Desember 1948, pasukan TNI yang menyingkir di sekitar pinggiran kota Yogyakarta mulai melakukan konsolidasi dan re-grouping kekuatan. Serangkaian aksi balasan dan gangguan terhadap patroli serta kedudukan pos militer Belanda dilakukan walau hanya bersifat insidental dan sporadis.
Aksi-aksi balasan ini hanya bersifat lokal, artinya hanya meliputi satuan TNI atau laskar tertentu dan pada wilayah tertentu pula. Meskipun menimbulkan kerugian pada pihak militer Belanda, namun strategi balasan ini dianggap kurang efektif, terutama dalam mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap eksistensi Republik serta diplomasi internasional.
Menyadari hal ini para pemimpin militer Republik kemudian merumuskan dan merencanakan sebuah Serangan Spektakuler yang dilakukan secara sistematis, terencana dan serentak untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI sebagai kekuatan penopang Republik masih ada bahkan mampu memberi perlawanan kuat.
Namun demikian, sebelum Serangan Spektakuler itu dilaksanakan, Angkatan Perang Republik sebenarnya telah pula melakukan empat kali “Serangan Umum” terhadap pos-pos kedudukan tentara Belanda di dalam kota Yogyakarta, antara lain pada tanggal 29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan 4 Februari 1949.
Serangan-serangan ini juga cukup mengejutkan militer Belanda. George T. McKahin menuturkan tentang apa yang dialaminya pada Serangan Umum tanggal 9 Januari 1949. Ketika itu, dirinya berada di Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda in) jalan Malioboro.
Kahin yang sedang menulis pada jam 10 malam, tiba-tiba terdengar rentetan senjata otomatis dan dentuman mortir. Listrik kemudian dimatikan dengan tujuan menghindari korban dari dalam hotel yang telah menjadi sasaran serangan tentara Republik.
Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran hebat di sekitar jalan Malioboro. Keadaan baru tenang setelah pukul 02.00 dini hari. Penyerbuan ini dilakukan oleh Kompi Mobile Brigade, Polisi Negara bersama anggota Brigade XVI KRIS.
Dalam serangan itu, bahkan ada pejuang yang berhasil menyusup hingga pintu belakang Hotel Merdeka yang menjadi markas banyak pejabat senior Belanda, untuk memasang dinamit pada tembok samping hotel, sebelum akhirnya dipukul mundur.
Di kemudian hari, Kahin mendapat informasi bahwa dinamit itu terpasang di bawah kamarnya, dan beruntung dinamit itu tidak jadi diledakan. Beberapa hari kemudian, Kahin mendengar bahwa di tanggal 29 Desember 1948 juga telah terjadi serangan yang sama dari tentara Republik, namun kabarnya serangan tanggal pada 9 Januari 1949 itu jauh lebih besar.
Dua hari sebelum dilancarkannya “Serangan Umum” yang kedua, pada tanggal 7 Januari 1949, Letkol Soeharto mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 09/S/Co. P/49.
Isi dari surat Perintah Siasat itu di antaranya adalah informasi tentang posisi dan kedudukan tentara Belanda, kekuatan pasukan TNI yang akan dikerahkan, gerakan penyerangan, waktu penyerangan, juga tanda pengenal dan kata sandi yang akan dipakai oleh pasukan saat memasuki posisi sasaran dan saat menyerang.
Pada surat Perintah Siasat tersebut, serangan ditetapkan tanggal 9 Januari 1949; untuk melakukan serangan serentak di kota Yogyakarta dan Maguwo pada pukul 21.00 malam.
Sebagai tanda pengenal yang digunakan adalah janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang diikat di pundak kiri serta tangan kiri diacungkan ke atas, dan sebagai kata sandi adalah ketika ditanya “Mataram” maka harus dijawab dengan “Menang”.
Serangan-Serangan Umum TNI terhadap pihak militer Belanda di Yogyakarta yang terjadi tiga kali, membuat komandan Tijgerbrigade, Kolonel van Langen gusar. Dia kemudian mulai merancang sebuah operasi militer.
Sekitar tiga hari sebelum dilancarkannya “Serangan Umum” yang keempat oleh TNI, pada tanggal 1 Februari 1949, Van Langen membuat rencana untuk mengadakan operasi pembersihan.