Serangan Umum sebelum Serangan Umum
February 26, 2020Menyusun Serangan Umum, Serangan Spektakuler (I)
February 28, 2020Kegamangan Serdadu Belanda
Pada bulan November 1948, sebelum Agresi Militer Belanda II dilaksanakan, dalam konstelasi politik di dalam pemerintahan Belanda berkembang spekulasi terkait dengan sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sassen, sebagai Menteri Urusan Koloni Belanda, meyakini sikap Sri Sultan akan mendukung aksi militer yang akan dilakukan Belanda itu. Oleh karenanya, Belanda dengan percaya diri menganggap bahwa aksi militer yang akan mereka lakukan terhadap Republik pasti mendapat dukungan dari dunia internasional.
Bahkan kepala staft militer Belanda, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden, sempat menyatakan bahwa “Sultan adalah anti-Republik”.
Menteri Urusan Koloni, Sassen, juga menyampaikan usul kepada Wakil Tinggi Mahkota (WTM) Belanda di Jakarta, Beel, untuk melakukan pendekatan terhadap Sri Sultan agar bersedia mendukung operasi militer Belanda itu. Namun, Beel menolak usulan tersebut.
Tampaknya Beel lebih memahami situasi dan kondisi yang terjadi di Republik daripada Sassen yang berada di Belanda. Pemahaman Beel ini juga diperkuat dengan adanya laporan intelijen Belanda yang menyatakan bahwa sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX “tidak bisa dipastikan”.
Di kemudian hari, sesudah agresi militer yang mengambil nama sandi Operatie Kraai sukses dilaksanakan, apa yang dikhawatirkan Beel menjadi kenyataan.
Senada dengan Beel, seorang sersan Belanda yang suratnya diangkat oleh surat kabar Vrij, antara lain mengungkapkan pengalaman dan perasaannya di medan tempur di wilayah Republik yang diduduki.
Surat itu antara lain berbunyi :
“…Dengan demikian maka dapat kejadian, bahwa kita, serdadu-serdadu, sangat merasa heran, ketika kami memasuki daerah baru ini, yang ternyata sangat berlainan daripada yang coba digambarkan oleh apa yang diberitakan oleh koran-koran tuan, di Indonesia sendiri dan di Nederland.
Dan dengan demikian juga bisa terjadi, bahwa opsir-opsir tinggi tentara kita, ketika tiba di Yogyakarta, sangat heran ketika mendengar, bahwa Sultan (Yogya) juga seorang Republikein, bahkan menjadi anggota parlemen (Indonesia). Karena mereka menduga bahwa Sultan itu seorang yang ditawan oleh Republik!
Kita tidak mengerti mengapa masih ada saja orang Indonesia yang menghalang-halangi pekerjaan kita, karena kita toh hanya datang mengadakan perbaikan, dengan banyak memberikan korban sendiri.
Demikianlah pikiran kita dan demikian memang kita diharuskan berpikir, karena semua orang menulis demikian.
Kita mengetahui, bahwa di samping orang yang hanya mengejar pangkat saja dan orang yang fanatik, masih banyak orang Indonesia yang sungguh pun melihat kesalahan-kesalahan Republiknya, tetapi menganggap Republik itu sebagai perwujudan cita-cita kebangsaan mereka.
Semua ini dan masih banyak soal lainnya lagi tidak kita ketahui, tidak lain karena kita tidak pernah mendengar atau membaca tentang hal itu. Juga karena kita tidak mempunyai perhatian cukup untuk sekali-sekali berbicara dengan seorang nasionalis dan mendengarkan sejarahnya, cita-citanya dan keinginan-keinginannya.
Kita tidak punya perhatian terhadap semua hal ini, karena soal-soal lain di sekitar kita terlalu mempengaruhi kita. Kita hanya berpikir kapankah kebusukan ini akan berakhir dan kapankah kita pulang? Atau, jika telah lama berada di rimba, kapan lagi ke kota untuk mengunjungi bioskop dan pergi berdansa.
Sedangkan sebenarnya soal-soal itu akan dapat banyak menceriterakan kepada kita tentang daerah yang baru bagi kita ini, tentang mana kita sekarang merasa keheranan dan tentang masih banyak lagi soal lain di baliknya, yang kita tidak mengerti.
Tetapi kita pun memang tidak mengetahui alamat orang-orang itu dan juga tidak mengetahui bahwa mereka baik hati dan peramah, juga terhadap serdadu biasa, meskipun di muka nama mereka tercantum Mr atau Dr. Siapakah yang akan mengatakan semua ini kepada kita?
Kini kita berada di daerah mereka, dan merasa keheranan. Kita lihat para pegawai dengan bersatu menolak untuk bekerja sama dengan ‘orang yang membebaskan mereka’. Kita pun tahu bahwa di sini gerakan gerilya telah mulai dan kita tahu apakah artinya itu, oleh karena kita mengalaminya sendiri.
‘Pertempuran akan berkobar menjadi perang 80 tahun’, kata seorang opsir TNI kepada kami pada suatu percakapan di suatu tempat di garis demarkasi. Delapan puluh tahun mungkin dilebih-lebihkan, tetapi artinya teranglah…”