Kerajaan Belanda: Serigala (Kolonial) Berbulu Domba
March 4, 2020Kisah dari Garis Demarkasi
March 11, 2020Jalan Simpang “Para Bandit”
Perlu disebutkan kelompok masyarakat yang akrab dengan kekerasan, keberadaannya tidak begitu disukai karena cenderung onar dan kriminal, tetapi dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam kancah revolusi, kelompok semacam ini begitu menonjol di beberapa tempat. Beberapa kepustakaan memberinya label dengan istilah jago, sebagian lagi menyebutnya dengan bandit.
Di Jawa Timur, pihak militer Republik (TNI) berusaha menjinakkan dan memanfaatkannya dengan memberikan kedudukan resmi dalam militer. Keberanian dan keahliannya sangat membantu dalam mendukung strategi perang gerilya.
Biasanya, para jago ini juga menjadi pelayan bagi siapa saja yang mampu memberikannya upah. Para jago atau bandit ini juga memiliki jaringan yang luas. Dan, dengan jaringan itu mereka banyak mengetahui apa yang terjadi di daerah-daerah tertentu.
Salah seorang di antaranya adalah Matosin, seorang jago dari Surabaya. Matosin, seorang yang buta huruf tetapi menyandang pangkat Letnan, memimpin kompi yang anggotanya terdiri dari pencuri dan perampok.
Pasukan yang dipimpin oleh Matosin ini dikenal sebagai Kompi Matosin. Mereka sangat membantu dalam menyediakan barang-barang yang sulit didapat di daerah kekuasaan Republik, seperti obat-obatan, peralatan medis, suku cadang kendaraan, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan apa yang dibutuhkan oleh pihak Republik, kelompok ini sanggup untuk mengusahakannya, termasuk senjata.
Contoh lain adalah para narapidana penjara Kalisosok. Bahkan, mereka diketahui telah ada sejak awal Kemerdekaan, di mana para narapidana ini telah memiliki ”Markas Besar” dan bertempat di penjara Kalisosok juga.
Situasi yang kacau menyebabkan para napi ini tidak terurus. Akrab dengan dunia kekerasan yang sesuai dengan situasi konflik barangkali menjadi motivasi utama untuk memanfaatkan orang orang seperti mereka. Beberapa nama dari Kalisosok yang cukup disegani ialah Sarpin, Kusnadi, Kasbi dan Semin.
Pihak militer Republik juga melepaskan para pelaku tindak kriminal dari penjara untuk diberi tugas khusus; mengacaukan blokade laut Belanda di sekitar Selat Madura. Para penjahat ini juga dilengkapi dengan senjata api oleh TNI.
Akibatnya, pihak Militer Belanda kemudian membangun pos-pos militer di sepanjang Selat Madura untuk mengatasi aktivitas para eks narapidana ini, juga dengan menggiatkan patroli laut. Namun hal ini tak mampu mengurangi gangguan perampokan.
Selain membuat kekacauan di daerah yang dikuasai dan diduduki Belanda, sebagian dari gerombolan itu juga bertindak sebagai “bandit sosial”. Tokoh seperti Juwahir bisa menjadi salah satu di antarantya. Juwahir, seorang jago dari daerah Kediri yang dimanfaatkan TNI untuk berbagai kepentingan.
Juwahir yang sudah tidak asing lagi dengan penjara, memiliki kelompok yang sering melakukan perampokan, terutama terhadap gudang-gudang yang dikuasai Belanda, seperti gudang gula, atau terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai kaki tangan Belanda.
Gerombolan Juwahir ini bersenjata api dan sering mengaku sebagai tentara. Hasil dari kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan Juwahir tidak hanya untuk diri sendiri dan tentara, tetapi sebagian juga diberikan kepada rakyat.
Bagi rakyat, Juwahir dianggap tokoh yang secara nyata mencintainya, tidak heran apabila rakyat dengan sukarela juga melindunginya.