Menafsir Peran Gedung Inggrisan
April 28, 2020Tergulingnya Truk Pembawa Bonek
May 15, 2020Malang dan Surabaya, Sepanjang Jalan Terkenang Keberanian
“… Untuk memori dalam setiap jengkal tanah yang mereka tempuh, sepanjang Malang hingga Surabaya 1945…”
Tanggal 10 November, rasanya akan selalu abadi sebagai tanggal sakral bagi bangsa Indonesia, terlebih di Surabaya. Tanggal yang diperingati sebagai Hari Pahlawan pada setiap tahun ini memberikan semangat heroik bagi generasi pewaris sejarah.
Tak akan ada habisnya, antusias sekaligus kebanggaan untuk membicarakan 10 November 1945. Karena, di sanalah hampir seluruh kekuatan Republik di Jawa Timur – bahkan dari beberapa penjuru Indonesia – terpusat untuk Mempertahankan Kemerdekaan.
Tak terkecuali, Arek-Arek Malang yang juga ikut ambil bagian dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di Surabaya dari amukan tentara Sekutu. Bahkan satu di antara Arek Malang, bernama Sulistina yang ikut dalam barisan Palang Merah, kemudian bertemu jodohnya. Sulistina menikah dengan Soetomo, sang orator di balik corong Radio Pemberontakan.
Dalam memoarnya Sulistina mengungkapkan bahwa, berita pertempuran Surabaya sampai ke Malang melalui gema radio yang ia dengar di kantornya. Gema radio tersebut membangkitkan naluri dan menggerakkan kakinya untuk lebih jauh melangkah menuju palagan di Surabaya.
Masih lekat dalam ingatannya, 11 November 1945, tiga gadis anggota Palang Merah Indonesia beserta beberapa pemuda pejuang dan laskar-laskar lainnya, berangkat dengan nyali berlapis-lapis menuju Surabaya.
Tembok Dukuh adalah tempat ‘pendaratan’ pertama bagi barisan Arek-Arek Malang yang diikuti oleh Sulistina di Surabaya. Sebelumnya sempat menunggu di sebuah pabrik gula di Sidoarjo untuk mendapatkan tanda bahwa Surabaya sudah aman untuk dimasuki.
Soetomo yang lebih familier dengan panggilan Bung Tomo berada di Tembok Dukuh. Tak lama berselang, serangan Sekutu memaksa para pejuang untuk berpindah tempat, ke Jalan Mawar. Selanjutnya, Sulistina bersama rekan sejawatnya di Palang Merah turut serta dalam evakuasi korban pertempuran. Peranan Palang Merah tentu sangat berarti dalam pertempuran dengan skala besar semacam di Surabaya.
Kisah ini, hanya satu di antara ‘gerakan’ Arek Malang dalam pertempuran 10 November hingga awal Desember 1945.Kisah lain hadir dari Laskar Hisbullah yang bermarkas di Singosari Malang dan dipimpin oleh Imam Sudja’i. Di bawah asuhan Kiai Masykur, Imam Sudja’i mampu menyatukan kekuatan para santri dan ulama di Malang Raya untuk berangkat menuju medan laga di Surabaya. Jika dilihat dan dibandingkan dengan laskar-laskar lainnya, Hisbullah memiliki kekuatan militer yang memadai. Laskar ini berada di bawah Divisi Suropati, sehingga perlengkapan senjatanya sangat lengkap.
Hubungan yang baik sudah dibina semenjak lama oleh para petinggi Laskar Hisbullah dengan pemerintah Jepang. Inilah sebab, mengapa persenjataan yang dimiliki Laskar Hisbullah begitu memadai.
Senjata-senjata ini diminta dari Jepang tanpa tetesan darah. Selanjutnya, keberangkatan Laskar Hisbullah menuju Surabaya dilaksanakan secara bergelombang, hingga datang pula beberapa laskar dari kawasan Jawa bagian timur serta Madura.
Selain anggota PMI, pemuda pejuang, dan laskar, satu lagi kekuatan militer dari Malang yang berangkat menuju Surabaya. Kompi pertama pimpinan Sochifudin dari Resimen 38 Malang. Selanjutnya pengiriman pasukan dilakukan secara bertahap dan bergantian.
Beberapa orang yang terluka hingga gugur di garis depan, dengan segera ditarik ke belakang dan digantikan oleh pasukan baru. Beberapa di antara pasukan ini juga turut mengamankan daerah kantong pertahanan Surabaya, seperti Sidoarjo – Krian – Gempol hingga Bangil.
Di bawah pimpinan Komandan Polisi Istimewa M. Yasin, turut pula bergabung pasukan-pasukan polisi dari Malang. Banyak di antara mereka merupakan pelajar SMTP dan SMTA yang menggabungkan diri pada barisan Polisi Istimewa. Pertempuran demi pertempuran mereka hadapi. Hingga ikut mundur menuju benteng pertahanan di daerah Buduran dan Krian.
Satu lagi yang menurut saya amat menarik, dalam catatan Siauw Giok Tjhan berjudul Renungan Seorang Patriot Indonesia, di Kota Malang berdiri Angkatan Muda Tionghoa yang bertujuan mendukung Kemerdekaan Indonesia. Beberapa pemuda Tionghoa yang mendapat pelatihan semasa pendudukan Jepang, juga medirikan Palang Biru.
Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru kemudian turut serta dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Melalui persetujuan pimpinan Rumah Sakit Militer di Malang, barisan ini diberangkatkan dan mendapat kepercayaan untuk memasok ransum bagi para pejuang hingga medan pertempuran di wilayah Jembatan Merah.
Pertempuran Surabaya telah mampu menggerakkan hati dan langkah para pejuang dari tiap penjuru. Kisah gerakan ‘Kera Ngalam’ (Arek Malang) ini, hanyalah satu di antara ribuan certia selama pertempuran terjadi. Hanya secuil dari narasi besar perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Kedekatan emosional penulis dengan kedua kota – Malang dan Surabaya, merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya tulisan ini. Sekedar sebuah penjaga kenangan atas peran mereka dalam Pertempuran Surabaya, dan ingatan yang senantiasa bangkit saat melintasi monumen-monumen penjaga memori heroik mereka… sepanjang Malang hingga Surabaya…
Oleh: Rintahani Johan Pradana, Sejarawan.
Rujukan:
- Hadi, N & Soetopo. 1997. Perjuangan Total Brigade IV. IKIP Malang: Malang.
- Notosusanto, N. 1985. Pertempuran Surabaya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
- Pradana, R.J. 2015. Membaca (Ulang) Sepuluh Nopember. Orasi Kepemudaan di Hari Pahlawan.
- Santosa, I. 2014. Tiong Hoa dalam Sejarah Kemiliteran. Jakarta: Kompas.
- Soewito, I. 1992. Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Jakarta: Grafika.
- Sulistina, S. 1995. Bung Tomo Suamiku. Jakarta: Sinar Harapan.