Ki Wasyid dan Perlawanan Para Kiai
May 20, 2020Kebesaran Hati Sang Panglima Besar
July 3, 2020Pamong Praja dan Polisi Pamong Praja
Pamong Praja pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dikenal sebagai Pangreh Praja (Inlands Bestuur atau Inlandsch Bestuur), yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kolonial.
Mereka merupakan birokrasi pelaksana pemerintahan kolonial Belanda di daerah (birokrasi pada wilayah kekuasaan orang bumiputera) dan dapat pula merupakan kolaborasi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan bumiputera daerah setempat.
Sehingga Pangreh Praja ketika itu merupakan wajah lain dari pemerintahan kolonial. Tak heran jika konotasi negatif di kemudian hari melekat erat dalam diri Pangreh Praja.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, mereka merupakan bagian dari sistem pemerintahan, isinya merupakan orang-orang pribumi yang menjadi pegawai pemerintahan kolonial. Pada masanya mereka merupakan bagian penting berlangsungnya kekuasan pemerintahan kolonial.
Sebagai bagian dari kekuasan pemerintahan kolonial, praktis mereka juga berfungsi sebagai agen pemerintahan kolonial. Lazimnya selain melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan sipil pada era kolonial, mereka juga menjadi agen agitasi dan propaganda, dengan tujuan memperdaya rakyat. Demi menjaga eksistensi kekuasaan kolonial tentu.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, eksistensi dan fungsinya kemudian diubah sesuai dengan konteks yang berlaku saat itu. Namanya pun kemudian diubah menjadi Pamong Praja, dengan fungsi dan tujuan berbeda.
Eksistensi pemerintahan Republik saat itu memang membutuhkan orang-orang yang cakap dalam bidang pemerintahan, sementara sumber daya masih sangat terbatas. Maka pilihannya kemudian memberdayakan kembali tenaga-tenaga eks kolonial ini.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong; Refleksi Historis Nusantara, menyatakan bahwa, ketika Proklamasi dinyatakan sebagai pemutus relasai antara penjajah dan yang dijajah, sejatinya hubungan di antara keduanya masih terjadi dan bahkan kuat. Di mana salah satunya terjadi dalam birokrasi pemerintahan.
Maka tak heran jika situasi ini kemudian dikaitkan dengan teori negara pasca kolonial, di mana dalam perspektif ini dipahami dengan bahwa eksistensi negara telah merdeka secara politik namun dalam konteks tertentu masih “terjajah”. Muncul anggapan bahwa feodalisme belum sepenuhnya lepas dari orang-orang ini.
Demi menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia pasca Proklamasi, Setelah namanya diubah menjadi Pamong Praja, fungsi dan peranannya kemudian diubah dengan lebih menitik beratkan pada fungsi; melayani, mengayomi (ngemong), membimbig, membina, mengarahkan, menuntut (momong), memberdayakan, memberi semangat atau motivasi (mbombong), serta harus bekerja dengan prinsip tanpa pamrih (rame ing gawe sepi ing pamrih).
Pada masa perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, di mana Belanda kemudian meng-agresi daerah-daerah Republik, para Pamong Praja ini kemudian juga menjadi agen propaganda dan agitasi dari pemerintahan Republik.
Hal ini dilakukan karena Belanda berhasil secara politik memecah-memecah wilayah Republik, termasuk dengan melakukan pendudukan dengan militer di daerah-daerah tersebut. Pada masa-masa ini, peranan Pamong Praja menjadi berat dan kompleks.
Menjadi tenaga penerangan di daerah Recomba (daerah pemerintahan sipil yang diklaim Belanda) misalnya, tantangan dan tugas mereka tidak hanya menjadi agen penerangan dari kebijakan pemerintah tetapi juga menjaga keyakinan rakyat agar tetap mendukung eksistensi pemerintahan Republik di tengah segala keterbatasan.
Selain itu mereka juga harus menjalankann fungsi pemerintahan sipil dari pemerintahan Republik dengan risiko ditangkap oleh Belanda.
Setelah meletusnya Peristiwa Madiun, meluas kekacauan yang tidak mampu ditangani oleh aparat kepolisian. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban di beberapa wilayah tampak tak tersentuh. Dalam situasi demikian, para Pamong Praja dalam melaksanakan tugas pemerintahan tidak mendapatkan perlindungan keamanan.
Mencermati kondisi ini, sejak 1 November 1948, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri membentuk Detasemen Polisi Pamong Praja.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, di tingkat kecamatan misalnya, detasemen ini beranggotakan sebanyak-banyak lima orang polisi Pamong Praja dengan dipimpin oleh seorang mantri polisi, dengan dibantu sebanyak-banyaknya 19 orang.
Sementara untuk anggota detasemen umumnya diambil dari para pemuda bekas anggota Angkatan Perang yang terdampak dari kebijakan Rasionalisasi.
Ketika itu, Detasemen Polisi Pamong Praja ini di bawah pimpinan dan perintah Camat. Polisi Pamong Praja ini juga berkewajiban mengadakan hubungan dan kerja sama dengan Jawatan Kepolisian Negara.
Untuk pembiayaannya ketika itu dan untuk sementara waktu diperoleh dari berbagai pungutan. Kelak pembiayaannya diambilkan dari keuangan negara. []
@matapadi
Salah satu sumber artikel ada di sini