Buya Hamka, Tak Pernah Ada Dendam
May 19, 2020Pamong Praja dan Polisi Pamong Praja
June 11, 2020Ki Wasyid dan Perlawanan Para Kiai
Dalam sebuah rapat akbar di Alun-alun Serang pada Desember 1945, Bung Karno memulai pidatonya :
“Wahai putera-puteri Banten, tahukah kalian bahwa di Banten pernah ada seorang pahlawan besar, siapa dia? Dia adalah Kiai Haji Moechammad Arsyad Thawil!”
Kiai Haji Moechammad Arsyad Thawil atau Ki Wasyid adalah seorang ulama yang sangat kharismatik dan begitu dihormati. Menjadi salah satu penggerak perlawanan rakyat Cilegon terhadap kezaliman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Selain Ki Wasyid atau Haji Wasid, ada nama tokoh-tokoh lain seperti Haji Abdul Karim, Haji Akib, Ki Tubagus Ismail dan lain sebagainya.
Ki Wasyid dikenal sebagai seorang ulama yang berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengobarkan semangat jihad dan mengajak umat menjauhi perbuatan syirik di tengah masyarakat yang saat itu percaya terhadap tahayul.
Sebelum terjadinya peristiwa Geger Cilegon atau Pemberontakan Petani Banten, rakyat Banten ditimpa bencana yang membuat rakyat dihadapkan pada keadaan yang sulit dan kalut. Setidaknya karena wabah kolera pada tahun 1879 dan meletusnya Gunung Krakatau pada 23 Agustus 1883.
Kehidupan religius-spiritual rakyat Banten mengalami disorientasi, kehilangan makna dan tujuan religiusitasnya. Di Desa Lebak Kelapa, misalnya, sebagian masyarakat kemudian kembali menyembah pohon berhala – sebuah pohon Kepuh besar yang dianggap keramat.
Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa, meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun, peringatan dari Ki Wasyid ini seperti tak dipedulikan.
Segera saja, karena fatwa tak diindahkan, Ki Wasyid bersama murid-muridnya merobohkan pohon berhala itu. Namun, bukan kemarahan rakyat yang dihadapi Ki Wasyid. Ia justru berhadapan dengan penguasa kolonial.
Sang pemilik pohon rupanya tak terima dengan tindakan Ki Wasyid, ia lantas melaporkannya ke pemerintah kolonial dengan sangkaan Ki Wasyid telah melakukan kerusakan dan merugikan pemilik pohon karena dari pohon itu ia memperoleh penghasilan.
Ki Wasyid akhirnya berhadapan dengan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia lantas dipersalahkan karena melanggar hak orang lain dan didenda 7,50 gulden.
Yang lebih menjengkelkan dan mencabik harkat dan martabat rakyat Cilegon adalah bahwa Ki Wasyid juga dihukum cambuk dan dipenjara. Atas vonis ini, rakyat menahan amarah, menunda jihad dikobarkan.
Menjelang meletusnya Geger Cilegon
Dalam sebuah peristiwa percobaan pembunuhan pada 19 November 1888 di tangsi militer Belanda di Serang, Banten, seorang pria yang berhasil masuk dengan paksa ke dalam tangsi militer Belanda bisa digagalkan dan kemudian ditangkap. Ia hanya berhasil melukai seorang penjaga bernama Umar Jaman.
Setelah diinterogasi, pihak militer Belanda menyatakan dalam laporan mereka bahwa motif penyerangan itu adalah semangat ekstrem yang tidak bisa dijelaskan.
Menurut Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888, pada hari-hari malapetaka itu, rakyat Banten teringat kepada ramalan yang menyebutkan tanda-tanda hari kiamat.
Seolah rakyat telah diingatkan oleh Tuhan agar bertobat dan sadar akan jalan sesat yang ditempuh manusia, yaitu hidup di bawah pemerintahan kaum kafir Belanda.
Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksukaan rakyat Cilegon terhadap Belanda semakin memuncak dan menjadi triger perlawanan. Antara lain, pertama, dua pejabat pemerintah kolonial, yaitu patih dan jaksa yang telah melakukan pelarangan umat Islam melakukan ibadah di masjid.
Kedua, dinaikkannya pajak perahu dan pajak-pajak usaha yang lain. Ketiga, para pejabat sama sekali tidak menghiraukan para kiai, bahkan telah memusuhi Islam, dengan melarang salat dengan suara keras dan melarang membuat menara-menara masjid tinggi, dan menyebar terlalu banyak mata-mata untuk mencari-cari kesalahan orang yang melanggar peraturan.
Namun yang tak kalah membuat marah rakyat Cilegon adalah dirobohkannya menara Mushala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk azan mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras.
Goebels bahkan menginstruksikan kepada patih agar dibuat surat edaran yang melarang Salawat Tarhim dan Azan dengan suara keras.
Ki Wasyid kemudian membuat perencanaan dan mengorganisir seluruh elemen rakyat Banten untuk melakukan perlawanan. Ki Wasyid mengadakan pertemuan di berbagai tempat dan menggunakan tarekat sebagai tempat berkumpul dan bersama-sama melakukan salat dan zikir.
Dalam hal ini Ki Wasyid dan para kiai lainnya menggunakan pertemuan ini untuk mengatur strategi dan bersiasat.
Dalam salah satu pertemuannya tanggal 22 April 1888, yang diadakan di kediaman Ki Wasyid di Beji, terdapat sekitar 300-an orang yang terdiri dari para kiai dan santri berkumpul di masjid.
Mereka kemudian bersumpah, bahwa mereka akan ambil bagian dalam perang sabil dan bagi mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir, mereka juga bersumpah tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.
Setelah berbagai persiapan dilakukan, kemudian ditentukanlah hari H penyerangan. Setelah pertemuan yang diadakan pada tanggal 22 Juni 1888, tanggal penyerangan diubah menjadi 9 Juli 1888. Ki Wasyid dan Haji Iskak menyerukan agar penyerangan segera dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan rencana mereka tercium oleh para pejabat pemerintahan kolonial Belanda.
Tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiai untuk persiapan gerakan di rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan. Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiai Haji Wasyid, Kiai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dengan pekik kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan.
Kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah asisten residen.
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Serang, Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto.
Terjadilah pertempuran hebat antara para santri dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih dengan baik. Perlawanan yang dimulai pada sore harinya itu membuat Cilegon dalam penguasaan Ki Wasyid dan pasukannya.
Namun, akhirnya perlawanan ini bisa dipadamkan, di bawah komando Kapten A.A Veen Huyzen, Belanda melakukan operasi mematahkan perlawanan dan melakukan pengejaran terhadap Ki Wasyid dan kawan-kawannya. Pertempuran terus berlangsung hingga pada tanggal 30 Juli 1888.
Ki Wasyid sebagai pemimpin perlawanan akhirnya tertangkap dan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Meski perlawanan itu akhirnya bisa dibungkam oleh pemerintah kolonial Belanda, namun mereka juga belajar bahwa perlawanan selalu muncul dari berbagai macam sisi. Apalagi jika itu sudah menyangkit kepercayaan keagamaan, maka tidak ada kata lain untuk berjihad melawan tiran dan kezaliman.
Setelahnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda merevisi kembali segala peraturan untuk tidak menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan.
Sumber bacaan :
- Hamid, Abdul (1987). Tragedi Berdarah di Banten 1888. Cilegon, Yayasan Kiyai Haji Wasyid.
- Abdullah, Taufik; dkk. (1991). Sejarah ummat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
- Sartono Kartodirjo, (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Adia, Sa’atu (2007). Gerakan Haji Wasyid Serta Relevansinya Terhadap Konsep Jihad Dalam Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Foto: kitlv.nl