Nasionalis Indonesia Yang Radikal
November 2, 2020Fasisme Jepang dan Resistensi Terhadap Kolonialisme
November 3, 2020Revolusi di Surabaya
Revolusi Nasional Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia, tulis sejarawan William Frederick dalam pembukaan bukunya. Revolusi itu berlangsung lebih kurang empat tahun dan dimenangkan oleh Indonesia dengan dukungan luas dunia internasional.
Semua bermula ketika Indonesia turun ke lapangan dan melucuti semua persenjataan Jepang, lalu menggunakannya untuk melawan Jepang. Dan, yang paling terkenal adalah adegan melawan Brigade Ke-49 Inggris yang datang untuk mengamankan beberapa ribu orang-orang Indo dan Belanda yang menjadi tawanan perang.
Pada pertengahan bulan September, pasukan RAPWI berada di tengah kota Surabaya dan pasukan Inggris berada dalam perjalanan, Polisi Indonesia dan pasukan Jepang diperintahkan untuk menjaga interniran. Di saat yang bersamaan, Belanda menolak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Orang-orang pro-Belanda di Surabaya merasa sangat percaya diri.
Mereka mulai mengibarkan bendera Belanda, menurunkan bendera-bendera Indonesia dan turun ke jalanan. Para pemuda lantas merespon suasana itu dengan kekerasan. Pemuda-pemuda ini berasal dari golongan berpendidikan, dengan latar belakang keluarga berkecukupan, dan kebanyakan juga prajurit-prajurit muda bekas PETA, pasukan paramiliter Indonesia bentukan tentara Jepang. Mereka juga frustrasi atas ketidakmampuan elite politik mendapatkan persetujuan Belanda atas kemerdekaan maupun menggerakkan massa bangsa menuju revolusi.
Bagi sebagian besar pemuda, revolusi adalah satu-satunya jalan. Untuk mencapainya, mereka pergi mencari dukungan ke kampung-kampung dalam penyerbuan atas Jepang dan pasukan Sekutu. Mereka tampil tanpa alas kaki, pakaian morat-marit, namun banyak akal, mandiri dan tangguh.
Warga kampung juga menjadi kawan seperjuangan bagi pemuda yang maju dalam pertempuran mengalahkan Jepang di awal Oktober, dan berperan dalam perang terkenal yang mengalahkan Brigade Ke-49 Inggris pada akhir Oktober.
Dalam menghadapi musuh, para pejuang menghadapi dua tipe musuh. Yang pertama adalah pasukan Inggris dengan mesin-mesin perangnya yang melumat habis tubuh-tubuh mereka di garis depan. Yang kedua, adalah musuh dalam selimut, mata-mata yang mengancam revolusi dari garis belakang.
Keberlangsungan tempur di Surabaya juga bertumpu pada kemampuan para pembawa informasi serta datangnya bala bantuan dari seluruh pelosok negeri. Oleh karenanya para pendatang memiliki nilai sangat penting dalam upaya perjuangan.
Jika revolusi nasional hanya mengajari satu bahasa, maka kita harus menolak bahasa itu, tulis Robbie Peters, seorang Senior Lecturer University of Sydney. Sebab itu adalah poin utama yang dibicarakan para pemikir besar abad 20 seperti Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Paul Ricoeur, George Orwell and Franz Fanon. Dan itu juga poin yang mereka dan semua orang di seluruh dunia pilih dalam mendukung upaya-upaya dekolonisasi, dan berharap sedang diwujudkan dalam Revolusi Indonesia saat itu.
Harapannya adalah, bahwa revolusi tidak akan mengembalikan otoriterisme yang ingin digulingkannya. Sutan Sjahrir sudah memperingatkan dalam tulisannya, Perjuangan Kita (1945). Rusia Stalinis dan Jerman Nazi merupakan bukti yang cukup, bahwa revolusi dapat menggantikan satu bentuk otoritarianisme dengan otoritarianisme yang lain, seperti yang diperingatkan oleh karakter Charles Chaplin dalam film satire politik The Great Dictator (1940).[]