Fasisme Jepang dan Resistensi Terhadap Kolonialisme
November 3, 2020Belanda Mengirim Bala Bantuan ke Hindia
November 7, 2020Merdeka Atau Perang
Pada awal abad ke-20, Surabaya telah berkembang menjadi kota dagang dan industri. Di samping itu Surabaya juga dijadikan sebagai pangkalan Angkatan Laut. Surabaya menjadi tempat bertemunya berbagai suku bangsa.
Dengan menganut beragam agama dan kepercayaan, berasal dari berbagai macam lapisan, bekerja pada berbagai sektor, dan menganut beragam ideologi. Keanekaragaman ini diikat oleh solidaritas berbasis kehidupan kampung. Surabaya juga menjadi tempat berkumpulnya para pelajar.
Di Surabaya, berbagai lembaga pendidikan dari sekolah rendah hingga sekolah tinggi juga ada. Dan, tidak sedikit di antara kalangan para pelajar yang kemudian terlibat dalam organisasi pergerakan.
Dari latar belakang itu, kelak naik pemimpin-pemimpin seperti di antaranya; Sutomo (Bung Tomo), Sungkono, drg. Mustopo, Sudirman, Ruslan Abdulgani, Dul Arnowo, Sumarsono dan R.M.T.A Suryo.
Adanya Proklamasi Kemerdekaan yang kemudian diikuti dengan penataan kelembagaan pemerintahan oleh pemerintah pusat, mendapat sambutan antusias di Surabaya. Lahirlah kemudian Pasukan Polisi Istimewa yang dipimpin Inspektur Polisi M. Jasin, KNI Daerah Surabaya diketuai Dul Arnowo, BKR dipimpin drg. Mustopo dan berbagai Badan Perjuangan serta laskar.
Akan tetapi, proses peralihan pemerintahan dari pemerintah kolonial Jepang ke aparat Republik tidak serta-merta berjalan lancar. Di Karesidenan Bojonegoro misalnya, muncul gejolak yang hampir meletus menjadi revolusi sosial.
Peristiwa ini dipicu oleh kebijakan residen yang kurang mampu menangkap aspirasi kemerdekaan di kalangan rakyat. Residen Bojonegoro R.M.T.A Soerjo, masih mengikuti perintah kolonial Jepang yang sudah menyerah.
Mengikuti kebijakan pemerintah kolonial Jepang, R.M.T.A Soerjo berpandangan, meskipun Jepang telah menyerah tetapi masih mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan status quo di daerah-daerah yang dikuasai. Residen ini berkeliling di wilayahnya, berpidato atas dasar kebijakan Jepang yang telah menyerah itu.
Akibatnya, orang-orang Jepang tampak terpengaruh, sehingga enggan menyerahkan jawatan-jawatan kepada orang-orang Indonesia. Sebaliknya, rakyat yang sudah merasakan kepedihan yang teramat sangat pada masa penjajahan Jepang menjadi marah, tidak terkontrol, dan mulai bergerak melakukan pendaulatan terhadap pangreh praja yang tidak disukai.
Penggeledahan dan penjarahan pun dilakukan terhadap pangreh praja yang pada masa penjajahan Jepang bertindak dianggap tidak adil, tidak jujur dan semena-mena.
Gesekan-gesekan keras seperti di Bojonegoro juga berlangsung atas kehadiran pasukan Sekutu yang hendak melucuti Jepang dan mengamankan para interniran. Inggris, sebagai representasi Sekutu yang menjadi pemenang Perang Dunia II, merasa dirinya yang paling berhak mengatur wilayah-wilayah eks pendudukan Jepang.
Sedangkan arek Surabaya dan rakyat Jawa Timur pada umumnya, merasa bahwa kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan harus dibela secara total. Indonesia adalah sebuah bangsa, dan sebagai bangsa sudah memproklamasikan kemerdekaannya.
Kemerdekaan Indonesia tidak ada urusan dengan Inggris, Jepang, apalagi Belanda. Karena mereka bukan bagian dari Indonesia, dan Indonesia bukan bagian dari bangsa mereka.
Meski ultimatum kemudian dikeluarkan oleh Inggris, tidak satupun rakyat Republik di Surabaya mau menyerahkan senjatanya. Lagi pula, mana bisa kemerdekaan dipertahankan tanpa adanya senjata di tangan.
Maka ketika keluar Resolusi Jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari, Bung Tomo pun menyiarkan jawaban keras atas ultimatum Inggris.
@matapadi