Pertempuran Segitiga dan Menolak Gencatan Senjata
November 12, 2020Aceh, Fatwa Jihad Demi Republik
December 23, 2020Pertempuran Surabaya, Perlawanan yang di Luar Dugaan
Jalannya Pertempuran Surabaya, pihak Barat banyak terkejut karena apa yang terjadi di Surabaya benar-benar di luar dugaan. Barat, terutama yang diwakili negara-negara Sekutu tak menyadari bahwa apa yang mereka hadapi di Timur Jawa ini benar-benar menjadi neraka.
Sebuah perlawanan yang tak disangka, bahwa ternyata orang-orang Timur yang selama ini dianggap inferior, mampu melakukan perlawanan dengan gagah berani. Surabaya melawan, bertempur, bukan semata-mata memperhitungkan untung dan rugi, kalah atau menang, melainkan ini soal harga diri, soal martabat, juga soal kedaulatan yang diinjak.
Pertempuran Surabaya, adalah contoh bagaimana ketika martabat diinjak, maka melawan adalah satu-satunya jalan. Sak dumuk batuk sak nyari bumi.
Belum usai menghadapi kenekatan rakyat Surabaya, lagi-lagi Sekutu juga banyak dikejutkan oleh kemahiran-kemahiran tentara Republik yang lahir tak lama setelah Proklmasi. Sebuah unit bersenjata negara yang belum tersusun rapi. Namun di dalam BKR-TKR terdapat prajurit-prajurit yang kemampuannya di luar dugaan. Mereka mampu mengoperasionalkan persenjataan yang terhitung modern saat itu.
Tembakan artileri dari pasukan Sriwijaya dari Benteng Kedung Cowek misalnya, pihak Sekutu kaget melihat tembakan artileri balasan dari Kedung Cowek. Dari kualitas tembakan, mereka sempat mengira bahwa tembakan balasan itu berasal dari tentara Jepang yang menolak perintah menyerah.
Pasukan Sriwijaya merupakan pasukan TKR yang dibentuk dari bekas anggota Gyugun (di Jawa dikenal sebagai Heiho) dari Sumatera. Mereka pada mulanya dilibatkan Jepang dalam pertempuran di Morotai. Namun karena kalah, para Gyugun ini dilepaskan begitu saja. Setelahnya mereka mencari jalan pulang sendiri hingga akhirnya terdampar di Madura lalu ke Surabaya, sedang sebagian lain yang terdampar di Sulawesi dan menetap di sana.
Inggris tidak menyangka, jika Indonesia ternyata memiliki anggota pasukan yang mampu melayani meriam-meriam berat seperti yang ada di Kedung Cowek, bahwa ada Pasukan Sriwijaya dari Sumatera yang terlatih dan berpengalaman tempur.
Tertembaknya sejumlah pesawat-pesawat RAF juga menjadi bukti bahwa tentara Indonesia mampu mengoperasikan senjata anti serangan udara dan mampu menembak jatuh beberapa di antaranya.
Dalam surat kabar The Cairns Post yang terbit sebulan setelah Pertempuran Surabaya II meletus, dikabarkan bahwa empat belas pesawat telah hilang sejak dimulainya operasi militer di Jawa, di mana setengahnya diyakini telah ditembak jatuh. Bahkan seorang perwira senior Angkatan Udara Inggris (RAF) mengatakan bahwa tembakan meriam-meriam anti serangan udara Indonesia sama akuratnya dengan Jerman.
Dalam peristiwa penembakan dan kemahiran menggunakan senjata anti pesawat juga dinyatakan oleh A. Radjab, seorang anggota Tentara Pelajar dalam bukunya TRIP dan Perang Kemerdekaan, Surabaya (1983) sebagai berikut:
“….. Setelah tembakan-tembakan mortir dan kanon mereka, dua pesawat Thunderbolt berputar-putar di atas daerah ini, balik ke timur, berputar kembali, menukik dan melepaskan tembakan-tembakan mitraliur dari sayap dan menyapu bersih apa yang ada di depannya dengan sasaran meriam pak Gumbreg.
Seluruh perkampungan berdebar-debar melihat hal ini sambil bertiarap kembali manakala pesawat musuh memuntahkan peluru-pelurunya. Meriam penangkis yang diawaki Pak Gumbreg dan anak-anak pemuda tanggung melakukan pembalasan yang gencar pula. Dan sesuai kepercayaan orang desa ini tentang 1 Asyura itu betul, tembakan pak Gumbreg mengenai sasarannya “byarr” satu kilatan ledakan bom dan pecahlah berantakan tubuh Thunderbolt Inggris congkak itu….”
Namun di antara itu semua, satu hal yang paling menohok adalah dalam Pertempuran Surabaya Fase I, 28-29 Oktober 1945, di mana tentara Sekutu yang sudah terkepung mengibarkan bendera putih, tanda menyerah. Hingga petinggi Sekutu di Surabaya meminta kepada Sukarno, dengan menyebutnya sebagai presiden Indonesia, untuk meredakan amarah rakyat Surabaya.
Demikianlah, sebagai sebuah negara yang baru saja berdiri dan dianggap inferior, dalam kenyataannya mampu melakukan perlawanan. Meski pada akhirnya Surabaya dapat dikuasai Sekutu, namun perlawanan rakyat telah menjadikan Surabaya menjadi neraka bagi serdadu Sekutu.
Demi martabat, demi kedaulatan, demi harga diri. Melawan adalah jalan kemuliaan.
Surabaya rekk!!
Sumber bacaan:
- Wiliater Hutagalung (2016), Autobiografi Letkol TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung: Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Ady Setyawan (2020), Kronik Pertempuran Surabaya, Media Asing dan Historiografi Indonesia Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Radjab (1983), TRIP dan Perang Kemerdekaan, Surabaya: Kusnendra Suminar.