Riset dan Pengembangan Sebagai Deterrence Effect
April 10, 2021Pattingalloang, Cendekiawan Bugis Abad 17
April 29, 2021Rahmah El-Yunusiyyah, Perempuan Pembaru Yang Melampaui Zaman
“Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka rusak, rusak pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun jika rumah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.” (Hamka)
Sekiranya, apa yang diutarakan oleh Buya Hamka dalam bukunya, Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan (2014), tepatlah dengan apa yang dilakukan oleh salah seorang perempuan yang juga kawan Buya Hamka, Rahmah El-Yunusiyyah. Semasa remaja ia rajin berguru ke surau Haji Rasul, yang juga ayah dari Buya Hamka.
Rahmah El-Yunusiyyah, sosok perempuan pejuang dan pendidik ini seolah terlupakan dalam sejarah. Kiprah dan peranannya baik dalam kemerdekaan maupun dalam memperjuangkan kaum perempuan agar terdidik tak pernah berharap purna. Baginya, belajar adalah sepanjang hayat.
Takdir sejarah Rahmah lahir dan berkembang dalam iklim pembaharuan Islam. Namun, ia juga ingin berada dalam arus sejarahnya. Dalam jejaknya, Rahmah El-Yunusiyyah telah menjelma perempuan perkasa di zamannya. Baginya, kaum perempuan haruslah cakap terdidik, beragama, berahlak, dan berani.
Rasulullah Muhammad Saw., bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Ketahuilah bahwa orang yang menuntut ilmu itu dimohonkan ampunan oleh seluruh makhluk hingga ikan-ikan di dalam lautan.” (HR. Ibnu Abdi al-Bar dari Anas)
Bagi Rahmah, motivasi bahwa belajar merupakan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Jejak Aisyah dan para sahabat perempuan di zaman Islam awal dijadikan cermin Rahmah untuk menuntut ilmu seluas-luasnya.
Aisyah, putri Abu Bakar ash-Shiddiq dan istri Nabi Muhammad Saw., tercatat tak hanya menguasai ilmu Alquran dan Hadits, tetapi juga diakui kecerdasannya dalam ilmu fikih, sejarah, kesehatan, dan ilmu lainnya.
Demikian, nasib kaum perempuan dalam pendidikan inilah yang dilihat Rahmah sebagai problem. Belum lagi wajah pendidikan dan tingkat keberaksaraan perempuan. Hal ini tidak melulu karena akses pendidikan yang terbatas, tetapi juga akibat paradigma masyarakat. Tak sedikit orangtua yang tidak memprioritaskan pendidikan bagi anak perempuannya.
Rahmah tak memungkiri adanya kalangan masyarakat yang menganggap sekolah-sekolah yang didirikan Belanda menjauhkan murid-muridnya dari agama. Namun, ia juga melihat persoalan dalam sistem pendidikan Islam yang justru mulai menggeliat dengan model sekolah bersamaan diberlakukanya Politik Etis oleh pemerintah kolonial.
Rahmah, juga turut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun, ia tak harus menjadi manusia pertama yang mengibarkan Merah Putih di Padang Panjang. Dengan perasaan haru, seusai Proklamasi Kemerdekaan, ia mengerek bendera itu di depan bangunan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan sebuah sekolah khusus putri yang berlandaskan agama untuk pertama kalinya di Indonesia. Berdiri pada 1923, bahtera Perguruan Diniyyah Puteri masih berlayar di lautan zaman hingga kini.
Dua orang sarjana Belanda, Cora Vreede dan De Stuers dalam bukunya Indonesian Woman memberi catatan bahwa, usaha-usaha yang dilakukan Rahmah El-Yunusiyyah dipandang dari aspek pergerakan kaum perempuan Indonesia adalah sebagai langkah yang menentukan dalam sejarah perkembangan pergerakan di Indonesia, bahkan dapat disamakan dengan penerbitan surat-surat Kartini (1879-1904) dan sekolah Dewi Sartika (1884-1947) di Bandung.
Rahmah, kiprahnya memang tampak sepi pengakuan. Ia berlaku lazimnya seorang ibu, yang hanya akan melakukan hal-hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Agar anak-anaknya kelak tidak tersesat, agar bermanfaat dan membawa maslahat. Untuk itulah peranan kaum perempuan menemukan titik pentingnya, sebagaimana petuah Buya Hamka di atas. (@matapadi)