Pattingalloang, Cendekiawan Bugis Abad 17
April 29, 2021Sukarno, Peci, dan Identitas Bangsa
May 24, 2021Lolos dari Maut Westerling
Berhari-hari di dalam tahanan, Sitti Hasanah Nu’mang ditemani kecoa yang beterbangan, kutu-kutu busuk yang menyengat-nyengat tubuh, dan gigitan nyamuk. Nasi untuk makan setiap hari bercampur sekam. “Tapi lebih banyak sekamnya daripada nasinya,” ujar perempuan asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan, itu.
Sitti mendekam di sebuah penjara besar bersama ayah dan pamannya. Banyak tahanan lain yang bernasib sama. Mereka ditahan karena satu alasan: pro Indonesia. Setelah sebulan lebih dikerangkeng, mereka digelandang menuju lapangan luas. Pagi hari sekitar pukul 08.00, mereka keluar dari penjara dikawal serdadu Belanda. Hari itu, kalender menunjuk 4 Januari 1947.
Setiba di lapangan, mereka diminta berjongkok. Sitti mengerti takdirnya. Ia siap ditembak mati. Sitti tetap saja berdiri. “Saya pikir, jongkok atau tetap berdiri toh akan sama-sama ditembak juga,” ujar Sitti dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45 (1995). Ayah Sitti, La Nu’mang, mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. La Nu’mang ingin menutupi kepala anaknya yang akan dihukum mati.
Sitti pernah bekerja di sebuah bank, Syowin Ginku, di Pare-Pare. Namun, sejak bank itu diambil alih NICA (Netherland Indies Civil Administration), ia memilih pensiun dini. Rumah Sitti dijadikan markas Laskar Ganggawa. Adiknya, Arifin Nu’mang, dan beberapa lainnya melancarkan gerilya. Suatu hari, tentara NICA mengendus rumahnya dan menangkap ayah dan pamannya, Puang Side. Sitti pun ikut ditangkap dan dibawa ke kantor polisi militer.
Setelah dua pekan dijeruji di kantor polisi militer, ia dibawa ke tangsi serdadu NICA seorang diri. “Selama empat hari di tangsi, apalagi pergi mandi, saya selalu dikawal petugas bersenjata senapan dengan sangkur terhunus,” terang Sitti.
Segala hujatan tak henti diterimanya. Ia dicaci maki sebagai perempuan nakal. Sitti yang panas telinganya melawan. Dengan geram, ia berteriak, “Saya ditangkap karena menuntut kebebasan, menuntut kemerdekaan bangsa dan tanah air! Saya bukan istri anjing-anjing penjajah!”
Dari tangsi serdadu NICA, Sitti dibawa lagi ke kantor polisi militer. Dua pekan di sel, Sitti, ayah, dan pamannya lantas dibawa ke sebuah penjara besar yang terletak di Pare-Pare. Sampai hari ketika ayahnya menyodorkan sapu tangan untuk menutupi kepala. “Buat apa kepala saya ditutupi, Pak? Kita ini mau dibunuh. Kita bertawakkal kepada Tuhan, menghadap-Nya,” ucap Sitti kepada ayahnya.
Semua tentara Belanda di lapangan melingkari para tahanan dan mengokang senjata. Kepala Sitti ditodong senapan. Tampaknya regu tembak itu siap menunggu perintah. Berselang beberapa menit, sebuah jip datang. Dua orang Belanda, salah satunya Westerling, turun dari jip dan menghampiri tahanan.
Sitti tak lagi gentar. Ia sudah pasrah. “Inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!” bentak Westerling. Suara tembakan meletup. Tubuh-tubuh diberondong peluru tajam. Ayah dan pamannya gugur. Para tahanan pun rebah di tanah. Sitti terhenyak. Ia takkan melupakan kejadian kejam di hadapannya seumur hidup.
Napas Sitti benar-benar tercekat. Westerling mendekatinya dan menggertak, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?” Sitti menangkis, “He, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!” Dalam kepiluan hati dan perasaan dendam, seseorang bisa memiliki keberanian tak terduga.
Sambil melotot, Westerling menanggapi, “Kamu orang memang keras kepala, tidak mau tunduk sama Belanda. Besok lusa, pasti saya kasih kamu punya bagian, ya!” Sitti tak kalah gertak, “Kenapa mesti menunggu besok, he?! Kalau Tuan menganggap saya salah, bunuh saja sekarang juga!”
“Yaah, saya mau ke Palopo dulu. Besok lusa saya akan kembali, memberi kamu punya bagian!” jawab Westerling. Kemarahan Sitti telah memuncak. Wajah Westerling terlalu memuakkan untuk ditatap. “Tak usah tunggu besok, sekarang juga bunuh saya!” teriak Sitti.
Westerling hanya tertawa sinis dan beranjak pergi. Sitti pun heran tak ikut ditembak mati. Seorang serdadu Belanda mendorongnya menaiki jip. Di atas jip, Sitti sempat menoleh dan melihat jenazah ayahnya dan para tahanan lain bergelimpangan di tanah.
Sungguh, hati Sitti menangis sedih. Di dalam tahanan, ia mengenang ayah dan pamannya yang telah meregang nyawa. “Makan tidak tertelan, air pun tak mau masuk. Saya benar-benar merasa tersiksa,” kenang Sitti. Ternyata Westerling tak menepati janji untuk membunuhnya. Berhari-hari, Westerling tak datang lagi. Trauma Sitti bertambah-tambah ketika sehari sebelum dibebaskan, ia diperkosa dalam kondisi tak sadar.
Kendati ia tak lagi di penjara, tetapi masih mendapatkan pengawasan ketat. Selepas kegetiran hidup itu, ia menikah dan sempat mengajar sampai tahun 1950 di Sekolah Rakyat (SR) di Labukkang, Pare-Pare.
Raymond Paul Pierre Westerling (1919-1987) telah melakukan kejahatan perang. Pada Desember 1946 hingga Februari 1947, ia dan pasukannya menggenangkan daerah Makassar sampai Kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang dengan lautan darah. Sitti Hasanah Nu’mang adalah seorang saksi kebiadaban Westerling. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).