Ibu Pendidik, Seruan Rahmah El-Yunusiyyah Tak Lekang Zaman
December 24, 2021Nyala Redup Sang Penyulut Soenting Melajoe
January 4, 2022Jejak Pesona Pak Tjokro
H.O.S. Tjokroaminoto tak sempat merasakan kemerdekaan Indonesia. Ia meninggal dunia pada 17 Desember 1934 dan dimakamkan di Yogyakarta. Negeri ini sempat membuat film layar lebar bertajuk Guru Bangsa: Tjokroaminoto garapan sutradara Garin Nugroho (2015).
Lahir di Bakur, Madiun, 16 Agustus 1882, Pak Tjokro adalah sosok besar. Ia orang pertama yang tak mengakui nama Hindia Belanda yang diberikan kolonial Belanda untuk Nusantara. Baginya, cukup Hindia Timur atau Hindia. Ia penggagas pemerintahan sendiri (zelfbestuur) untuk bangsa Hindia saat itu (Iswara N. Raditya, 2009). Pak Tjokro berjuang menumbuhkan kesadaran nasional. Ia juga membangkitkan jiwa rakyat untuk bergerak meraih kemerdekaan.
Kelihaian pena Pak Tjokro tak berbeda dengan suaranya yang memesona. Ia pandai berorasi yang tanpa mikrofon pun terdengar keras (Takashi Shiraisi, 1997). “Cara menguraikan pikiran-pikirannya jernih. Ia mampu menyajikan dengan jelas berbagai permasalahan kepada para pendengarnya yang kurang terdidik. Suara yang dalam dan berat sangat cocok terutama di ruangan besar dan terbuka,” kenang Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943).
Pak Tjokro berpena di surat kabar Bintang Soerabaia, Oetoesan Hindia, Neratja, Bendera Islam, Fadjar Asia, dan berbagai lembaran cetak. Bintang Soerabaia terbit pada akhir 1800-an berbahasa Melayu. Sedangkan Oetoesan Hindia berdiri di Surabaya pada Desember 1912. Ketika naik ke pucuk pimpinan Sarekat Islam saat Kongres ke-II di Yogyakarta pada April 1914, Pak Tjokro mengendalikan penerbitan surat kabar ini sebagai syiar Sarekat Islam. Maka, tak heran jika banyak terekspos pemikiran dan sepak terjang Pak Tjokro.
Dalam Oetoesan Hindia, No. 125/Tahun 2, Kamis, 2 Juli 1914, ia menerangkan maksud dan tujuan Sarikat Islam itu ada yang batin dan yang lahir.
Terkait maksud dan tujuan yang lahir, Pak Tjokro menulis, “…yaitu akan menyempurnakan keadaan kita yang jasmani (badan wadag kita ini) supaya derajat kita bersamaan dengan derajatnya lain-lain manusia, baik dari kaum kita sendiri maupun dari kaum lain-lainnya, supaya kita dapat hak kemanusiaan kita yang sempurna. Pendek kata yaitu tidak mencari kemajuan diri sendiri saja, tetapi kita mencari kemajuan untuk orang lain juga, yang kita maksudkan di dalam hitungan kaum kita, baik oleh karena campur agama maupun sebab bercampur tanah kelahiran. Oleh sebab itulah maka sudah tentu saja kehendaknya Pergerakan Sarekat Islam menuju maksud akan membangun kebangsaan juga.” (Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, 1995: 208).
Aktivis Sarekat Islam lainnya juga menulis di Oetoesan Hindia, seperti Haji Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Suryopranoto. Begitu juga Sukarno yang mengaku menulis di Oetoesan Hindia tak kurang dari 500 artikel dengan nama samaran Bima.
Presiden pertama Indonesia itu berujar, “Aku pun menulis untuk surat kabar Pak Tjok, Oetoesan Hindia, tetapi dengan nama samaran, karena memang tidak mungkin masuk sekolah Belanda sambil menulis artikel yang menganjurkan penggulingan pemerintah Belanda. Aku membuka kitab Mahabharata untuk memperoleh nama samaranku. Aku memilih nama ‘Bima’ yang berarti Prajurit Besar, juga memiliki arti keberanian dan kepahlawanan.”
Pada tahun 1924, Pak Tjokro yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris menerbitkan buku Islam dan Sosialisme. Ada tiga anasir dalam sosialisme, tulisnya, yakni kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Tiga anasir yang menurutnya ditekankan Islam. Dalam ranah politik, kemampuan Pak Tjokro terbilang mumpuni. Sepanjang kepemimpinannya, ia tak lelah membangun jaringan, mengajar, sekaligus mendidik dan mengagitasi massa. Ia kuasa menjadikan Sarekat Islam sebagai pergerakan nasional yang berdaya dan berpengaruh kuat.
Di masa hidupnya, rakyat pernah menganggap Pak Tjokro sebagai “Ratu Adil”. Pemerintah Belanda menjulukinya “Raja Jawa Tanpa Mahkota”. Meskipun demikian, kebesaran yang dimilikinya tetap menjadikan Pak Tjokro rendah hati. Ia tak sudi dikultuskan dan menolak penyebutan dirinya sebagai Ratu Adil. “Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya Ratu Adil,” orasi Pak Tjokro pada 1916.
Pak Tjokro yang pernah diangkat menjadi anggota Volksraad ini layak pula disebut sebagai bapak pergerakan Indonesia. Beberapa tokoh negeri ini telah belajar darinya. Ketika di Surabaya, rumah beliau di Gang Peneleh VII sering disinggahi para tokoh terkemuka. Ada K.H. Ahmad Dahlan, E.F.E. Douwes Dekker berganti nama Danudirjo Setiabudi, Cipto Mangunkusumo, Haji Agus Salim, Suwardi Suryaningrat—kelak bernama Ki Hajar Dewantara, dan tokoh agama dan pergerakan lainnya. Diskusi, perbincangan, dan perdebatan tak letih dilakukan.
Salah satu fragmen di rumah Pak Tjokro dituturkan Bung Karno dalam autobiografinya yang dituturkan kepada Cindy Adams. Pernah terjadi diskusi memikat soal pengisapan penjajah Belanda terhadap negeri Indonesia. Mendengar diskusi itu, Bung Karno bertanya, “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?”. “De Vereenigde Oost-Indische Campagnie menyedot atau mencuri kira-kira 1.800 gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag,” jawab Pak Tjokro. Bung Karno kembali bertanya, “Apa yang tinggal di negeri kita?”. Pertanyaan itu dijawab Alimin, “Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari.” Tak ketinggalan Musso memberi komentar, “Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa.”
Pak Tjokro telah meninggalkan jejak bermakna dalam sejarah Indonesia. Ia adalah salah seorang penyemai kemerdekaan. Jejaknya menginspirasi bangsa ini di ranah perjuangan politik, pers, dan pendidikan masyarakat.
Salah satu pidato Pak Tjokro yang kerap dikutip, “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri…”
Di zaman kini, ruang partisipasi politik rakyat terbuka lebar, namun tak berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan. Tak sedikit politisi dan pejabat yang menjadikan Indonesia sekedar sapi perahan. Masih jauh pucuk pemimpin negeri saat ini “berdaya upaya menjunjung martabat kita kaum bumiputera,” sebagaimana cita-cita Pak Tjokro. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).