Jejak Pesona Pak Tjokro
December 30, 2021Agresi Militer, Salah Perhitungan Belanda, dan Watak Sri Sultan IX
January 10, 2022Nyala Redup Sang Penyulut Soenting Melajoe
Soenting Melajoe, ejaan asli yang tertera di surat kabar, mengakhiri penerbitan sekitar Januari 1921. Terbit perdana pada 12 Juli 1912, surat kabar ini identik dengan Rohana Koeddoes atau versi populernya Rohana Kudus. Putri dari Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam ini bernama asli Siti Rohana.
Berbicara Rohana Kudus dan Soenting Melajoe tak dimungkiri ada kesan sumir. Soenting Melajoe kerap disebut sebagai surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda. Di Jawa, sebelum surat kabar tersebut terbit telah beredar Poetri Hindia pada 1908. Sebagian pihak menyebutkan bahwa Soenting Melajoe secara keseluruhan dikelola oleh kaum perempuan. Berbeda dengan Poetri Hindia yang ada campur tangan laki-laki.
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008: 367) mungkin juga bingung. Dalam buku yang senantiasa di-update itu, ia menulis tentang Datuk Soetan Maharadja. Sosok ini pada 1909 mendirikan sekolah pertenunan pertama untuk kaum perempuan di Padang. Dua tahun berselang, tulis Ricklefs, ia menerbitkan Soenting Melajoe. Sekolah pertenunan yang dimaksud adalah “Serikat Tenoen” yang didirikan di Pulau Air, Padang. Datuk Soetan Maharadja mendirikan tempat pelatihan keterampilan bagi perempuan bersama Engkoe Radja Maulana dan Engkoe Datoek Sati. Sekolah tenun memberi uang saku kepada muridnya yang kebanyakan perempuan miskin dan janda sebesar 6 gulden per bulan (Sastri Sunarti, 2013: 81).
Datuk Soetan Maharadja termasuk kalangan kelas atas. Dengan sumber daya finansial, ia mendirikan usaha percetakan dan penerbitan Perserikatan Orang Alam Minangkerbau (OAM) pada 1911. Rohana Kudus melakukan surat-menyurat dengan Datuk Soetan Maharadja untuk menyampaikan gagasan penerbitan surat kabar yang menyuarakan perempuan. Dalam buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007: 39) diterangkan, “Tertarik membaca surat Rohana, sampai-sampai Sang Datuk mendatangi langsung Rohana di Koto Gadang. Hasilnya, disepakati untuk menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Soenting Melajoe di Padang.”
Sastri Sunarti dalam buku Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an) (2013: 80-81) memaparkan, “Sebagai bangsawan, Datuk Soetan Maharadja memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk ukuran zamannya. Kedekatannya dengan pemerintah Hindia Belanda juga turut memajukan percetakan dan surat kabar yang berada dalam naungannya, seperti Soeloeh Melajoe, Oetoesan Melajoe, dan Soenting Melajoe ini.”
Telah mafhum jika fokus Rohana Kudus tak bisa terbelah yang saat itu harus mengurusi Keradjinan Amai Setia di Koto Gadang. Maka, atas segenap pertimbangan, Rohana Kudus tetap di Koto Gadang dengan dibantu Zoebaidah Ratna Djuita di Padang untuk mengelola penerbitan Soenting Melajoe. Zoebaidah Ratna Djuita adalah putri dari Datuk Soetan Maharadja. Ia memang kalah populer dengan Rohana Kudus, yang konon sampai kini belum berhasil dilacak riwayat hidupnya.
Dua nama perempuan itu tertera di halaman depan Soenting Melajoe sebagai REDACTRICES. Kita dapat membaca koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional dengan Kode Q:-206 yang memampang surat kabar Soenting Melajoe No. 3, 20 Juli 1912. Terbaca secara jelas nama Datuk Soetan Maharadja juga tertera di halaman depan sebagai PEMIMPIN, sedangkan ADMINISTRATUER dipegang Sidi Soetan. Tulisan ini bukan ingin memperdebatkan adanya pendapat bahwa Soenting Melajoe tak ada campur tangan laki-laki. Ada yang mengatakan bahwa pimpinan Poetri Hindia masih dipimpin laki-laki, sedangkan Soenting Melajoe dipimpin perempuan. Hal ini terbantahkan jika membaca koleksi surat kabar Soenting Melajoe.
Pendapat yang mendekati obyektif, inisiator Soenting Melajoe adalah seorang perempuan, yakni Rohana Kudus. Redakturnya juga dipegang perempuan. Terkait Poetri Hindia, ada edisi 15 Januari 1909 di ranah maya yang bisa disimak. Surat kabar itu tertera R.T.A. Tirtokoesoemo dan Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) sebagai pimpinan. Di bagian HOOFDREDACTRICES dan REDACTRICES bertengger banyak nama perempuan.
Hal yang kerap diutarakan sebagai kelebihan Soenting Melajoe adalah surat kabar ini sepenuhnya ruang aktualisasi bagi perempuan untuk berpena dan menyuarakan pemikiran. Jaringan pelanggannya luas, baik di Sumatera maupun luar Sumatera. Mengutip Mr. S.M. Rasjid Dahlan dkk, Sastri Sunarti (2013: 220) menerangkan bahwa Soenting Melajoe merupakan surat kabar perempuan yang cukup lengkap isinya dengan tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan-tulisan mengenai wanita dan riwayat tokoh-tokoh ternama. Fitriyanti dalam buku Roehana Koeddoes: Tokoh Pendidik dan Jurnalis Perempuan Pertama Sumatera Barat (2002: 71) menerangkan bahwa Rohana Kudus juga kerap menyadur buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda untuk diterbitkan di Soenting Melajoe.
Secara kapasitas kepenulisan dan jurnalistik, Rohana Kudus memang diakui cemerlang. Sejak cilik, ia telah piawai menulis. Kendati tak mendapatkan pendidikan formal, Rohana Kudus masih bisa mengakses beragam bacaan. Ayahnya, Mohamad Rasjad Maharadja Soetan, merupakan pegawai pemerintah Belanda. Hal wajar, jika semasih belia, Rohana Kudus sudah fasih berbahasa Belanda. Ayahnya kerap memberikan berbagai bahan bacaan yang memuaskan dahaga keilmuan. Ketika ayahnya pindah tugas ke Alahan Panjang, Rohana Kudus dilatih merajut, menyulam, dan menjahit oleh istri pejabat Belanda yang merupakan atasan ayahnya. Surat kabar terbitan Belanda pun tak sulit dilahap.
Sebagai perempuan pribumi, Rohana Kudus tidak serta-merta berdiri di menara gading. Ia tetap memiliki kepekaan melihat nasib perempuan bangsanya. Keterampilan dan kecerdasannya ingin berdaya guna dengan mendirikan Keradjinan Amai Setia. Sofia Mahardika dalam esai Kiprah Rohana Kudus Dalam Pemberdayaan Perempuan (dalam Mukhrizal Arif, dkk (2014: 201) menyebutkan bahwa Rohana Kudus telah menerapkan pendidikan berbasis kebudayaan lokal. Rohana Kudus berkehendak mengembangkan aset lokal. Perempuan dilatih kerajinan tangan yang ternyata berdampak signifikan menopang perekonomian perempuan.
Dalam penelitian berjudul Pengembangan Desain dan Motif Produk Sulam Koto Gadang, Sumatera Barat (Idealogy Journal of Arts and Social Science, 2018, Vol. 3, No. 1, hlm. 18-20), Ranelis Nel dan Kendall Malik menyebutkan seni kerajinan sulam di Koto Gadang berkembang secara turun-temurun. Atas prakarsa Rohana Kudus dan beberapa ibu di Koto Gadang dibentuklah Keradjinan Amai Setia pada 11 Februari 1911. Berdirinya perkumpulan ini terutama akibat telah banyaknya laki-laki merantau dan meninggalkan kaum perempuan di kampung halaman untuk mengurus keluarga dan harta pusaka.
Tumbuh pesatnya sentra industri sulam di Koto Gadang hingga kini tak dimungkiri sebagai imbas rintisan Keradjinan Amai Setia. Rohana Kudus memimpin Keradjinan Amai Setia sampai 1916. Selain seni kerajinan tangan, lembaga ini juga berfokus pada pendidikan kaum perempuan. Selain belajar membaca, menulis, dan berhitung, kaum perempuan juga diberikan asupan pengetahuan rumah tangga dan mengasuh anak. Untuk menopang kebutuhan, Rohana Kudus menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda.
Semasa Rohana Kudus, hasil kerajinan yang dikerjakan para perempuan di Keradjinan Amai Setia sudah berkualifikasi ekspor dan sampai negeri-negeri Eropa (Sofia Mahardika, dalam Mukhrizal Arif, dkk., 2014: 201). Keradjinan Amai Setia dapat dikatakan sebagai wadah organisasi, pelatihan keterampilan, dan pendidikan kaum perempuan. Hampir seluruh perempuan Koto Gadang menjadi anggotanya. Sepeninggal Rohana Kudus, lembaga yang mendapatkan status badan hukum dari pemerintah Belanda pada 15 Januari 1915 ini tetap berkembang.
Sebagaimana saling fitnah yang kerap terjadi dalam realita sosial, Rohana Kudus sempat dituduh mengorupsi dana Keradjinan Amai Setia. Dalam persidangan, tuduhan ini tak terbukti. Konon, setelah kasus ini selesai, Rohana Kudus pindah kampung halaman ke Bukittinggi dan mendirikan Rohana School (Sofia Mahardika, dalam Mukhrizal Arif, dkk., 2014: 199). Semasa ini, Rohana Kudus tetap sebagai redaktur Soenting Melajoe.
Jejak kepenulisan Rohana Kudus memiliki sejarah tersendiri dan menarik disimak. Sebelum mengelola Soenting Melajoe, tulisan-tulisannya sudah berserak di lembaran surat kabar. Datuk Soetan Maharadja sudah dikenalnya sejak menerbitkan Oetoesan Melajoe. Bahkan, sebagian literatur menyebutkan Rohana Kudus dalam dunia jurnalistik dibina oleh Datuk Soetan Maharadja. Di Oetoesan Melajoe, Rohana Kudus memiliki ruang menuliskan ide-idenya. Produktivitas menulis Rohana Kudus membuat namanya membahana.
Belum ada buku khusus berisi tulisan sosok perempuan kelahiran 20 Desember 1884 ini. Di zamannya, Rohana Kudus sempat menulis antara lain di Saudara Hindia, Dagblad Radio, Tjahaya Sumatra, Suara Koto Gadang, Sinar Hindia, Guntur Bergerak, Mojopahit, dan Fadjar Asia. Ketika pindah ke Medan, ia konon turut menopang surat kabar Perempuan Bergerak yang dipimpin Parada Harahap (1899-1959).
Mengupas Rohana Kudus dalam sebagian tulisannya di Soenting Melajoe mungkin memunculkan kontroversi. Kajian kritis dilakukan Danil M. Chaniago dalam Perempuan Bergerak: Surat Kabar Soenting Melajoe 1912-1921. Dimuat di Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Vol. IV No.1, 2014, akademisi dari IAIN Imam Bonjol Padang itu memaparkan bahwa Soenting Melajoe menyerukan agar kaum perempuan berpendidikan dan meningkatkan kapasitas intelektual tanpa meninggalkan adat. “Sepanjang usianya, SM (Soenting Melajoe—penulis) ini tidak pernah sekali pun memuat tulisan yang mengecam dan atau mengkritisi pemerintah. Sebaliknya ditemukan tulisan yang mengesankan dukungan surat kabar ini terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, seperti tulisan yang dicantumkan oleh redaksi dengan judul ‘Kemerdekaan Tanah Belanda 1813-1913’,” tulis Danil M. Chaniago. Bahkan, saat 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis, syair Rohana Kudus kentara memuji Ratu Wilhemina dan pemerintah Belanda. Di Jawa, tiga serangkai Indische Partij harus menerima nasib pembuangan akibat menyuarakan penolakan terhadap perayaan ini.
Hal lain yang mengindikasikan dukungan Soenting Melajoe kepada pemerintah
kolonial dan adanya hubungan dekat antara Rohana Kudus dengan pemerintah, lanjut Danil M. Chaniago, juga tercermin dari sebuah berita berjudul “jang mahamoelia seripedoeka toean Dr. van Ronkel”.
Berselimutkan kontroversi, Rohana Kudus yang meninggal dunia pada 17 Agustus 1972 dengan gaya dan caranya tersendiri telah menyalakan pergerakan kaum perempuan Indonesia. Nyalanya redup alias kurang benderang jika menganalisis tulisannya di Soenting Melajoe atau “kedekatan” dengan pemerintah Belanda.
Bagaimana pun, hati Rohana Kudus ingin memperjuangkan nasib perempuan. Hanya nasib sejarah, namanya tak sepopuler Kartini (1879-1904). Mungkin saja Belanda terlalu menomorkan-satukan Jawa sebagai pusat kekuasaan, sehingga “memaksakan” Kartini. Di Sulawesi, pahlawan nasional Walanda Maramis (1872-1924) juga ada “campur tangan” Belanda.
Dari sekian tokoh perempuan, ada seseorang yang lenyap dalam historiografi Indonesia. Ia yang jejaknya melampaui semua tokoh perempuan, bahkan sebagian laki-laki. Sosok perempuan tak berbau Belanda sama sekali: Rahmah El-Yunusiyyah. Rakyat negeri ini bertanggung jawab untuk mencuatkan Ibu Pendidikan Indonesia yang terlupakan itu. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro)