Melawan dengan Pena
July 13, 2021Buya Hamka, Sejarawan Ulung
July 22, 2021Dua Hari Sebelum Idul Adha, Mengenang Zainuddin Labay
Dua Hari Sebelum Idul Adha, Manusia Besar Itu Telah Pergi
“Zuraida, kau harus rajin belajar agar segera pintar. Kalau kau malas, siapa yang akan membaca kitab-kitab ayah yang banyak itu. Rajin-rajin, ya,” ucap Zainuddin Labay (1890-1924) sembari mendekap lututnya dengan kedua tangan. Sang putri yang berusia 10 tahun tak melupakan kalimat sang ayah seumur hidupnya.
Untaian kata Zainuddin Labay itu bagi kita terkesan biasa. Namun, bagi Zuraida, kalimat itu menggetarkan. Ayahnya yang sakit berhari-hari tak lama kemudian pergi untuk selamanya.
Dua hari sebelum Idul Adha, 97 tahun lampau dalam Masehi, dunia berkabung. Hari itu, 8 Dzulhijjah 1342 Hijriyah, seluruh orang tak mengira. Darah Haji Rasul seketika saja menyusut. Hamka yang lagi di Maninjau bergegas setelah menerima surat kematian Zainuddin Labay dari ayahnya. “Surat itu amat sedih,” terang Hamka.
Kesedihan adalah manusiawi. Tak hanya mereka yang di Padang Panjang. Ribuan orang dari Bukittinggi, Padang, Payakumbuh, Batu Sangkar, dan tempat lain berduyun-duyun untuk melayat dan mendoa. Kita tak bisa membayangkan kematian “manusia besar” pada masa itu. Konon, rumah tempat jenazah disemayamkan nyaris runtuh. Salah satu tiang penyangganya patah.
Ah, mengenang Zainuddin Labay janganlah mengenang kematiannya. Kenanglah untaian kalimat kepada Zuraida itu. Rajin-rajinlah belajar.
Kitab yang dimiliki Zainuddin Labay melampaui zaman. Kitab yang turut membesarkan Hamka dan manusia besar lainnya.
Dengan kitab-kitab itu, ulama-ulama dan guru-gurunya segan dan kagum. Pembacaan dan pemikiran Zainuddin Labay teramat luas sampai lulusan Kairo pun menaruh hormat. Kitab-kitab Zainuddin Labay teramat modern, terutama dalam bidang pendidikan. Aliran sesudah Muhammad Abduh, ujar Hamka.
Kamis, 10 Juli 1924, Zainuddin Labay telah pergi. Bukan Zuraida yang masih 10 tahun yang memiliki kitab-kitab itu. Dalam pembagian warisan, kitab-kitab itu akhirnya berada dalam genggaman Rahmah El-Yunusiyyah, adik bungsunya.
Ketika kematiannya, Haji Rasul menegarkan diri dengan berucap kepada Hamka, “Matinya orang besar seperti itu adalah seumpama matinya sepohon pisang. Di dekat tunggul pohon pisang itu akan tumbuh berpuluh anak pisang yang subur di belakang hari…” Wallahu a’lam.
(Hendra Sugiantoro, bukan orang Minang. Hanya mencintai Indonesia)
Sumber:
- Aminuddin Rasyad, Leon Salim, Hasniah Saleh dalam Rahmah El-Yunusiyyah dan Zainuddin Labay (1991).
- Hamka dalam Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1967).
- Hendra Sugiantoro dalam Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia (2021).