Ulama, Pemantik Api Perlawanan
July 10, 2021Dua Hari Sebelum Idul Adha, Mengenang Zainuddin Labay
July 17, 2021Melawan dengan Pena
Bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, Suwardi sebagai seorang sekretaris, menyemai Indische Partij. Sejak berdiri pada akhir 1912, pergerakan nasional ini menggebrak dengan tujuan Indie Los van Holland (Hindia bebas atau merdeka dari Belanda). Selain di Indische Partije, Suwardi juga berposisi sebagai Ketua Sarekat Islam Cabang Bandung.
Peristiwa dinilai paling radikal terjadi ketika Suwardi, Cipto, Abdul Muis, dan kawan-kawan mengecam perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Sebuah komite dibentuk untuk menyuarakan penolakan rakyat.
Baginya, tak masuk akal jika kaum pribumi menyokong keuangan untuk perayaan itu. Suwardi pun menggerakkan pena, “Andaikan aku seorang Belanda, sungguh mati aku malu.”
Ayunan pena lelaki kelahiran 2 Mei 1889 itu membuat merah wajah pembesar Belanda. Artikel Als ik eens Nederlander Was (seandainya aku seorang Belanda) dikirim ke seluruh redaksi surat kabar di Jawa. De Express bahkan memuatnya utuh.
“Cip, tidakkah kau tahu bahwa tulisan ini sebenarnya tidak taktis. Dengan sekaligus kau bisa ditangkap,” ucap Abdul Muis. Abdul Muis menerjemahkan artikel Suwardi dalam Bahasa Melayu.
“Salinlah dia lekas-lekas. Aku tahu akibatnya: dibuang,” Cipto paham risiko.
Tersebarlah brosur dan pamflet Als ik eens Nederlander Was berbahasa Melayu. Saling serang tak terelakkan. Belanda main sita, Cipto main pena. Di De Express 26 Juli 1913, ia menulis Kracht of Vrees? (Kekuatan atau Ketakutan?)
Pejuang yang berprofesi dokter itu menantang:
“Apakah mereka ingin mendemonstrasikan kekuatan dengan melakukan penyitaan itu? Sungguh kasihan! Apakah orang mengira, bahwa kami akan merasa takut, karena kami dihadapkan kepada kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar? Justru kami tergugah untuk menantang kekuatan yang lebih besar itu, memaksa mereka agar dengan sekuat tenaga berusaha untuk menaklukkan kami.”
Cipto siap dibuang, Suwardi pun siap. “Semua buat satu, tetapi juga satu buat semua. Saudara-saudara dan kawan-kawan sebangsa,” tulis Suwardi membuka artikelnya di De Express edisi 28 Juli 1913. Artikel Een voor allen, allen voor een dipungkasi dengan:
“Saudara-saudara, bebaskanlah dirimu dari perbudakan!
Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat kata-kata keras yang muncul dari jiwaku yang pedih, kalau nanti aku dihukum oleh justisi karena keberanianku, aku akan bersyukur kepada Allah atas kebijaksanaan-Nya memberikan kenikmatan kepadaku dalam hukuman: kenikmatan bahwa aku dapat berkorban untuk tanah airku. Demikianlah hendaknya!”
Radikalisme mereka dianggap tak terampuni. Belanda menangkap Suwardi dan Cipto. Terseret pula Douwes Dekker, pemilik De Express dan Ketua Indische Partij.
“Satu batalion infanteri meringkus Tiga Serangkai,” tulis Bambang Sokawati Dewantara dalam buku Nyi Hajar Dewantara dalam Kisah dan Data (1979). Putusan pengadilan 18 Agustus 1913 mengasingkan mereka.
Jika Pak Tjokro punya Soeharsikin, Suwardi punya Sutartinah (1890-1971). Akhir Agustus 1913, saat pembuangan di depan mata, mereka merekatkan cinta dalam akad nikah. Biduk rumah tangga Suwardi dan sang istri berlayar pula ke Holland.
Sesampai di Teluk Benggala, 14 September 1913, Suwardi mengirim pesan ke tanah air, “Dan berjaga-jagalah! Saat bagi bangsa kita untuk merayakan kemerdekaan kita sendiri, pasti akan tiba pula. Marilah kita berdoa semoga saat itu cepat tiba.”
Sesampai di Holland, nama mereka telah menjadi buah bibir. Douwes Dekker, Suwardi, dan Cipto diminta berbicara dalam forum Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP). Dalam catatan Dr. van der Meulen, Suwardi dan Cipto melepas blangkon. Cipto mengenakan kupiah beledru hitam dan Suwardi mengenakan topi fez Turki berwarna merah. (Hendra Sugiantoro)
* Artikel ini merupakan bagian dari isi buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno.
Referensi
- Bambang Sokawati Dewantara, Nyi Hajar Dewantara dalam Kisah dan Data, Jakarta: Gunung Agung, 1979.
- A.H. Harahap&B.S. Dewantara, Ki Hajar Dewantara dan kawan-kawan: Ditangkap, dipenjarakan, dan diasingkan, Jakarta: Gunung Agung, 1980.
- Rama Kertamukti, “Komunikasi Simbol: Peci dan Pancasila”, Jurnal Komunikasi Profetik, Vol. 6(1), 2013.
- Irna H.N. Hadi Soewito, Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.