Jejak Sunyi Syamsiah Syam dan Sabil Muslimat
July 30, 2021Syekh Abbas Abdullah, Pejuang Kemerdekaan
August 25, 2021Rahmah El-Yunusiyyah dan Ketakjuban Universitas al-Azhar
Doctor Honoris Causa bukanlah makanan, apalagi sebuah kitab. Awal Juni 1926, Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945) alias Haji Rasul setiba di Medan belumlah mengerti. Berkeliling dan bersua banyak pihak di daerah Sumatera Timur, hatinya mendadak berbunga-bunga. Ternyata betapa tinggi gelar kehormatan dari Universitas al-Azhar itu. Senyumnya merekah.
Namun, pulang ke Padang Panjang,—meminjam kalimat Buya Hamka—kegembiraan hatinya redup di dalam runtuhan batu-batu. Gempa 28 Juni 1926 melantakkan rumahnya di Gatangan dan Surau Jembatan Besi. Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969) pun dilanda pilu. Bangunan sekolahnya hanya tinggal puing-puing. “Tak ada harta dunia yang kekal,” Haji Rasul menguatkan diri.
Cita-cita Rahmah El-Yunusiyyah tak ingin runtuh bersama gempa. Ia terus berjuang membesarkan Perguruan Diniyyah Puteri. Haji Rasul tentu tak pernah mengira, muridnya akan memperoleh gelar serupa. Sekitar 29 tahun setelah gempa (1955), Rektor Universitas al-Azhar Dr. Syekh Abdurrahman Taj dan timnya berkunjung ke Perguruan Diniyyah Puteri. Universitas al-Azhar terpukau dan terkesima.
Dua tahun berselang, Rahmah El-Yunusiyyah diundang sebagai tamu istimewa. Saat kunjungan ke Mesir (1957) ini, ia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dan berhak menyandang sebutan “syeikhah”. Penyematan gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan Universitas al-Azhar untuk pertama kalinya kepada seorang perempuan.
Di sisi lain, Perguruan Diniyyah Puteri menginspirasi Universitas al-Azhar mendirikan Kulliyatul lil Banat. Rahmah El-Yunusiyyah secara tidak langsung ikut mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan di Universitas al-Azhar yang sejak berdirinya memang belum ada.
Taufik Ismail sempat mewarta, “Buya A. Karim Amrullah adalah tokoh Indonesia pertama yang menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) pada tahun 1926, berdua dengan Buya Abdullah Ahmad dari Padang. Tokoh ketiga adalah Etek Rahmah El-Yunusiyyah dari Diniyyah Puteri Padang Panjang pada tahun 1957. Doktor Honoris Causa keempat adalah Buya Hamka…”
Buya Hamka dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar sempat menyinggung hal tersebut:
“… sekolahnya itu di zaman sekarang menjadi satu teladan didikan bagi anak perempuan dalam hal agama, sehingga menimbulkan niat pula bagi Syekh Jami’ al-Azhar Dr Syekh ‘Abdur Rahman Taj hendak mendirikan sekolah semacam itu sebagai bahagian dari al-Azhar, sebab telah beliau lihat sendiri seketika beliau melawat ke sana… Maka di tahun berikutnya Al-Azhar pun untuk pertama kalinya setelah 1.000 tahun berdirinya mendirikan sekolah untuk perempuan. Pengembangan sekolah ini dengan bantuan dari Ny. Rahmah El-Yunusiyyah sehingga beliau digelari “Syaikhah” oleh al-Azhar.”
Menurut Azyumardi Azra, syekh adalah gelar kehormatan tertinggi agama di samping gelar doktor yang lebih formal sifatnya, gelar syekh sepadan dengan profesor atau guru besar. “Pendiri Diniyyah Putri Padang Panjang, Rahmah El-Yunusiyyah dalam kunjungannya ke Universitas al-Azhar Kairo pada 1957 dianugerahi gelar “syaikhah”, yang kepada laki-laki disebut syaikh atau syekh,” jelas Azyumardi Azra.
Bagi Indonesia, gelar “syaikhah” kepada Rahmah El-Yunusiyyah merupakan penghargaan besar. Kita pun cukup mengerti bahwa gelar tersebut bukan pemberian cuma-cuma. Kilau gelar itu dari buah perjuangan. Sejak berdirinya Perguruan Diniyyah Puteri pada 1 November 1923, perempuan-perempuan dari Aceh sampai Irian disemai oleh Rahmah El-Yunusiyyah Begitu pula perempuan-perempuan dari Semenanjung Malaya. Penyematan gelar Doktor Honoris Causa kepada Rahmah El-Yunusiyyah merupakan prestasi tersendiri tak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi negeri ini.
Wahai, masa yang panjang, 31 tahun! Indonesia mencatatkan kembali anak bangsanya dengan gelar kehormatan dari universitas terkemuka itu. Perempuan lagi. Tanpa hingar-bingar, dan Indonesia terlupa. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).
Sumber:
- Aminuddin Rasyad, dkk. 1991. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy. Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang Perwakilan Jakarta.
- Azyumardi Azra. 2014. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana.
- Azyumardi Azra. 2017. Surau: Pendidikan Islam Tradisi dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Kencana.
- Hamka. 1961. Sejarah Perkembangan Permurnian Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas.
- Hamka. 1967. Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Djajamurni.
- Nur Adila Mohamad dan Izziah Suryani Mat Resad. 2020. “Pengaruh Gerakan Islah Rahmah El-Yunusiyyah di Tanah Melayu.” International Journal of West Asian Studies, 12, hlm. 15-35.
- Taufik Ismail, dalam pengantar buku Irfan Hamka. 2013. Ayahku…Kisah Buya Hamka, Jakarta: Republika.