Syekh Abbas Abdullah, Pejuang Kemerdekaan
August 25, 2021Seabad Hidup dalam Tiga Perang
December 6, 2021Jiwa Republik Sri Sultan IX
Selasa, 27 September 1988, dari Tokyo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan penerbangan ke Washington, D.C. Sri Sultan IX menginap di Hotel Embassy Row, Massachussets Avenue.
Keesokan harinya, check up di Rumah Sakit Walter Reed, kesehatan beliau tak bermasalah. Rencana beliau juga periksa kesehatan mata di Boston, dijadwalkan 3 Oktober 1988. Pada 5 Oktober 1988 akan hadir dalam resepsi peringatan HUT ABRI di KBRI di Washington D.C.
Agenda terakhir itu tak pernah kesampaian. Minggu, 2 Oktober 1988, sekitar pukul 17.15, Sri Sultan IX tiba-tiba muntah darah dan dilarikan ke Rumah Sakit George Washington University. Pukul 19.59, beliau dinyatakan meninggal. Senin, 3 Oktober 1988, jenazah Sri Sultan IX disemayamkan di Ives Pearson Funeral Home, Wilson Boulevard, Virginia.
Kamis, 5 Oktober 1988, peti jenazah tiba di Jakarta. Diperistirahatkan sehari untuk memberi kesempatan masyarakat berbelasungkawa. Jumat, 7 Oktober 1988 pagi, jenazah beliau dibawa ke Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono. Sabtu, 8 Oktober 1988 sore, Sri Sultan IX dimakamkan. Indonesia berduka.
Sri Sultan IX menjadi manusia besar karena sikap dan kepribadiannya yang mengabdi untuk Republik. Ucapan selamat beliau kepada Sukarno-Hatta usai proklamasi (18 Agustus 1945), “sanggup berdiri di belakang pemimpin” (20 Agustus 1945), dan Maklumat 5 September 1945 bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari RI memiliki arti penting. Arti “penting” itu karena beliau membuktikannya dengan perbuatan.
Ketika pada 5 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Markas Tinggi TKR bukan di Jakarta, tetapi Yogyakarta. Hal ini atas pertimbangan strategi dan politik. “Dalam hal ini sikap Sri Sultan IX yang sejak semula dengan tegas menyatakan dukungan penuh kepada Republik merupakan faktor yang sangat penting,” tutur T.B. Simatupang dalam buku Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (1982).
Pemimpin tentara dan Sri Sultan IX terjalin ikatan batin. Rapat TKR 12 November 1945 menunjuk beliau sebagai Menteri Pertahanan dan Soedirman sebagai Panglima Besar. Kendati pemerintah pusat menunjuk sosok lain (Amir Sjarifuffin) sebagai Menteri Pertahanan, tentara lebih berhubungan dengan Sri Sultan IX.
Dalam ilmu sejarah tidak boleh “seandainya”. Namun, kita bisa merenungkan nasib RI tanpa Sri Sultan IX. Seusai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda bersikeras menguasai bekas tanah Hindia Belanda. Jalan perang dan siasat halus dilakukan. Ibukota RI pindah ke Yogyakarta sejak 5 Januari 1946.
Usai Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947, wilayah RI secara de facto hanya Sumatera, Jawa, dan Madura. Bekas Hindia Belanda dijadikan Negara Indonesia Serikat (NIS). RI menjadi negara federal di dalamnya.
Agresi militer pun dilancarkan Belanda, 21 Juli 1947. Pada 29 Agustus 1947, Belanda mengumumkan “garis demarkasi van Mook”. Usai Perjanjian Renville 1948, wilayah RI diistilahkan Soedirman hanya “sedaun kelor”. Selain Aceh dan Sumatera Barat, wilayah RI yang masih bernyawa adalah Yogyakarta, tempat hampir semua pimpinan dan aparatus negara “menyepi”.
Kesempatan mudah melenyapkan RI, Belanda pun melaksanakan Agresi Militer Kedua pada 19 Desember 1948. Pasukan darat, laut, dan udara dikerahkan. “Persis yang pernah dilakukan tentara Jepang saat menyerbu Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii,” tulis Julius Pour dalam buku Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (2009). Tinggal selangkah lagi RI tamat. Sukarno, Hatta, dan pemimpin lain ditangkap.
Secara militer, Perintah Siasat No. 1 dari Soedirman adalah kunci emas RI tetap bertahan. Namun, ada kunci emas lain. Di tengah tentara bergerilya, Sri Sultan IX digoda untuk berpihak kepada Belanda. Dengan iming-iming menguasai wilayah yang sama dengan Kerajaan Mataram meliputi Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Banyumas, dan Madiun.
Tak mempan, ditambah seluruh sisa bagian Jawa Tengah dan seluruh wilayah Jawa Timur, termasuk Madura. Ditambah lagi sejumlah saham di perusahaan pelayaran Belanda dan perusahaan kereta api Hindia Belanda. Pernahkah membayangkan jika Sri Sultan IX menerimanya di tengah RI hampir sekarat?
Sungguh, beliau menolak mentah-mentah. Sri Sultan IX yang meninggal pada 2 Oktober 1988 adalah salah satu kunci emas bagi eksistensi Republik Indonesia hingga kini. Tentu, selain Perintah Siasat No. 1 Soedirman, ada kunci emas lainnya, yakni Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).