Awal Kebangkitan Eropa
March 5, 2019Awal Eropa Mengambil Kuasa Atas Samudera
March 5, 2019Dari Non Kembali ke Kooperasi
Dalam periode kurang lebih sepuluh tahun-sejak Sarekat Islam menjadi non-kooperasi dan Perhimpunan Indonesia mengeluarkan semboyan “Indonesia Merdeka Sekarang” sampai dengan dibuangnya Bung Karno ke Flores, hatta dan Sjahrir ke Boven Digul bukan saja pergerakan kebangsaan semakin radikal, tetapi juga perdebatan ideologis serta strategi antara partai-partai terjadi dengan gencar. Masa sepuluh tahun ini (kira-kira 1924-1934) boleh dianggap sebagai “dasawarsa ideologi” dalam sejarah Indonesia.
Tetapi, memang, semakin gencar perdebatan semakin meluas pula pengaruh kaum pergerakan. Kesadaran politik rakyat semakin mendalam dan nasionalisme Indonesia (dalam arti hasrat persatuan dan anti kolonialisme, bukan sekedar “ideologi” yang partisan) pun semakin menyebar juga. Ketika itulah akhirnya pemerintah kolonial menjatuhkan palu godamnya.
Politik rust end orde dijalankan dengan keras. Para tokoh politik yang radikal dan berpengaruh dibuang. Partai-partai non-kooperasi terkena berbagai macam exorbitante rechten, hak-hak istimewa, dari sang Gubernur Jendral. Pegawai negeri dilarang ikut-ikut partai-partai tertentu dan vergader verbod (larangan mengadakan rapat) pun dikenakan pada pertai-partai tersebut. Tokoh-tokoh mereka yang tidak ditangkap dikenakan reis regeling atau passen stelsel –dilarang berpergian keluar daerah atau diwajibkan mendapat pas jalan.
Maka, timbullah masalah bagaimana pergerakan kebangsaan harus bisa dijalankan? Dalam situasi ini ada partai-partai yang terpaksa non-aktif dan kemudian membubarkan diri tanpa suara. Tetapi dengan begini tokoh mereka dimungkinkan untuk memasuki partai lain atau, bila mungkin, membuat partai baru. Demikianlah sejak pertengahan tahun 1930-an sampai tahun 1941 adalah saat ketika initiative politik kebangsaan hanya mungkin bisa dilakukan oleh golongan yang memiliki strategi ko-operasi. Sebuah lingkaran telah selesai. Bermula dari sana, berakhir di sana juga, tetapi situasi tak lagi sama, telah jauh berbeda.
Begitulah dalam waktu hampir tiga puluh tahun perjalanan pergerakan kebangsaan, yang bermula dari ko-operasi, mengalami proses radikalisasi dengan pilihan yang non-kooperasi, untuk akhirnya dipaksa kembali menjalankan politik kooperasi. Hanya saja, jika awalnya dibuka dengan kadar optimisme yang cukup tinggi tentang masa depan hubungan kolonial, maka kini politik ko-operasi bukan saja pilihan yang secara internal harus diperdebatkan, tetapi juga diterima tanpa optimisme. Hal ini terutama dirasakan oleh sebagian pemimpin partai-partai radikal.
Kooperasi adalah pilihan dari dilema politik yang dihadapi demi pemupukan kesadaran politik rakyat. Atau, tetap hijrah menurut istilah Sarekat Islam ketika meninggalkan politik kooperasi di tahun 1920-1n, dan dengan akibat tak dimungkinkan untuk mengadakan kegiatan politik.
Untuk langkah-langkah itu, tidak ada tokoh yang menjalani lingkaran dari kooperasi kembali ke kooperasi ini seutuhnya selain dari Haji Agus Salim. Dalam sejarah Indonesia ia dikenang sebagai pemikir Islam, tokoh pergerakan, dan, barangkali yang akan selalu melekat pada dirinya sepanjang sejarah sebagai “Grand Old Man of the Republic”, karena perannya dalam sejarah revolusi kemerdekaan (1945-1949). Sebagai tokoh pergerakan kebangsaan ia bukan saja akan diingat sebagai salah seorang “dwitunggal Sarekat Islam” (bersama H.O.S. Tjokroaminoto), tetapi adalah pula salah seorang perumus yang paling terkemuka dari apa yang kemudian dikenal sebagai “ideology Islam”.
Meski melalui “jalan yang berlingkar”, Salim adalah pula salah seorang perumus dari nasionalisme-Islam. Perdebatannya dengan Soekarno tentang anti nasionalisme adalah sebuah Intellectual exercise, wacana yang ikut mempertajam landasan nasionalisme Indonesia.
Agus Salim adalah salah seorang anggota Volksraad pada masa sidang yang pertama. Ia bersama Abdul Muis –sang novelis, Salah Asuhan (1928)– duduk dalam masa sidang pertama Dewan Rakyat untuk mewakili Sarekat Islam. Dan, adalah dia pula yang di tahun 1924, setelah Sarekat Islam mulai menjalankan politik hijrah, dengan sangat sarkastik menyebut Volksraad tak lebih dari sebuah “komidi omong”.
Kematian H.O.S. Tjokroaminoto, “singa podium” yang kharismatik, pertengkaran internal partai, dan terutama pelaksanaan politik rust en orde yang didukung oleh pendekatan security approach, kalau istilah sekarang boleh dipakai, oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID) alias intel, dan segala macam corak exorbitante rechten yang dipunyai pemerintah memaksa Agus Salim harus meninjau lagi strategi politik hijrah. Ia dikalahkan dan disingkirkan dari SI, yang telah bernama PSII (Indonesia).
Seperti Hatta di tahun 1930 yang mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia sebagai protes terhadap bubarnya PNI (lama), Agus Salim dan kawan-kawannya mendirikan Pergerakan Penyadar. Yang sambil ber-kooperasi secara politik, tetapi tetap melawan melalui strategi sosial yang bercorak pendidikan rakyat.
Sumber : “Grand Old Man of the Republic” HAJI AGUS SALIM dan Konflik Politik Dalam Sarekat Islam, 2014.