Indonesia di Moeka Oemoem
March 5, 2019Komando Bersama Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia (ABDA) Bubar!
March 5, 2019Ironi Keunggulan Nusantara
Pada bukunya, Prof. Soedjoko menulis: Aspects of Indonesian Archeology. Ancient Indonesian Technology ship building and fire arms production around the sixteenth Century (1981). Nampaknya ia risau dengan penulisan sejarah Indonesia yang Neerlandosentris, yang mengabaikan fakta-fakta dan capaian-capaian bangsa Indonesia yang datang dari sumber-sumber informasi (juga dari Barat) yang tidak menguntungkan pencitraan Barat sebagai superior. Selain itu, kebanyakan sejarawan Indonesia juga justru lebih sibuk dengan sejarah raja-raja, imperium yang datang dan pergi, tanpa sama sekali menengok sejarah budaya materi yang dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan teknologi bangsa Indonesia di masa lalu, terutama pada abad XVI.
Selain tentang teknologi maritim yang sudah dikuasai oleh orang Indonesia Soedjoko juga menulis tentang teknologi pembuatan senjata api, meriam maupun senapan. Mengenai senjata api, tulisan dari Barbosa menyebutkan tentang kemampuan orang Jawa ketika ia tinggal di Asia Tenggara (1500-1517): The Javanese are great masters in casting artillery. They make here spingarde (one-pounders), muskets, and fire-works, and in every place are considered excellents in casting artillery, and in the knowledge of discharging it.
Tidak hanya orang Jawa saja yang mempunyai keahlian pengecoran logam untuk meriam atau pembuatan senapan (Arquebuss), Vaerthema, orang Italia yang pernah ke Sumatera antara tahun 1503 dan 1508 mencatat kemampuan orang setempat dalam membuat mesiu. Marsden (Marsden, 1811) menyebut bahwa: In the country of Menangkabau they have from the earliest times, manufactures arms for theirown use and to supply the Northern inhabitats… etc.
Kemampuan yang sama berkenaan dengan senjata api juga tampak pada orang-orang Aceh, yang berkali-kali menyerang Portugis di Malaka dan mengganggu pelayarannya, serta orang-orang di Ternate yang rajanya dikawal oleh 3000 tentara dan 1000 diantaranya bersenjata api. Sementara tulisan Soedjoko cukup sampai disini, demi untuk menjelaskan bahwa ketika Portugis, Belanda, dll yang datang ke Indonesia, orang-orang Indonesia bukanlah sekelompok petani yang tak berdaya dan dengan gampang bisa dihabisi seperti yang terjadi di Amerika Selatan pada rakyat Inca yang ditumpas oleh Pisaro dan Cortes di tahun 1500. Orang Indonesia pada masa itu merupakan sebuah entitas suku-suku bangsa yang sudah mampu menandingi keunggulan persenjataan Barat.
Sejarah memang membuktikan, Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk mengukuhkan kekuasaannya yang baru terlaksana pada tahun 1905. Sedangkan untuk menaklukkan Afrika, yang luasnya beberapa kali Indonesia imperialis Eropa hanya memerlukan waktu 100 tahun; dan sampai tahun 1859 Inggris baru bisa “mengamankan” seluruh India (sebelum terbagi).
Selain itu, kemenangan Eropa atas negara-negara lain di dunia juga lebih bertumpu pada penggunaan kekerasan, dan bukan karena keunggulan nilai-nilai dari budayanya. Mereka memetik kejayaan sebab menemukan sistem organisasi militer, disiplin logistik, teknologi persenjataan, kekuatan maritim, juga ilmu kedokteran yang lebih baik.
Barat dapat merebut kekuasaan juga bukan dengan ajaran-ajaran agamanya (hanya sedikit pribumi yang mengganti agamanya), bukan pula dikarenakan adatnya yang lebih tinggi, melainkan dengan “paksaan yang terorganisir” (Organisierter Gewalt). Kebanyakan orang Barat lupa akan sebab-sebab ini, tetapi orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya (Huntington). “Mission Sacre” yang pada awalnya menjadi motivasi telah tersapu oleh berlimpahnya harta dari negeri jajahan. Dan, campaign Perang Salib yang dicetuskan melalui Perjanjian Tordesillas tentunya juga surut ketika terjadi konkurensi negara-negara Eropa ke Asia yang pada akhirnya meruntuhkan hegemoni Portugis dan Spanyol.
Dan, sebuah ironi pun dikenalkan kepada anak-anak didik di Indonesia berkenaan dengan pewacanaan dirinya sebagai sebuah bangsa. Hikayat tentang nenek moyangnya yang pernah menguasai navigasi pelayaran, teknologi perkapalan, administrasi niaga internasional, teknik tata kota, seni arsitektur, pengecoran logam dan pembuatan senjata api sejak jauh sebelum kedatangan orang Eropa, justru tidak diterangkan dalam literatur-literatur sekolah. Padahal, fakta-fakta sejarah tersebut adalah romantisme yang amat berpengaruh dalam membangun rasa percaya diri di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kepercayaan diri yang bahkan secara luar biasa pernah dilaporkan oleh seorang Portugis bernama Diego de Couto, bahwa orang Jawa misalnya, ketika lewat di jalan dan melihat ada orang bangsa lain sedang berdiri pada onggokan tanah atau tempat lain yang lebih tinggi dari tanah dimana ia berjalan, ia bisa membunuh orang itu jika tidak segera turun dari tempatnya. Atau, perihal ketakutan atas rangkaian kapal layar yang cemerlang milik para pelaut Bugis, dan telah begitu menggentarkan pelaut Eropa yang mula-mula datang sehingga mereka kembali ke tanah airnya untuk memperingatkan anak-anaknya, “bersikaplah yang baik, atau orang Bugis akan menangkapmu.”
Referensi : Kronik Peralihan Nusantara, 2013.