KMB dan Kampung Neneknya Si Murad
March 9, 2019Pidato Thamrin dan Pemboikotan Tembakau Deli
March 26, 2019Taman Siswa Adalah Perlawanan
Apa yang terjadi dalam konstelasi global dunia, lazimnya akan berdampak merata. Meskipun antara satu wilayah negara dengan wilayah lainnya respon maupun dampakya akan berbeda.
Pasca krisis pasca Perang Dunia I, yang kemudian berlanjut dengan kelesuan ekonomi dunia atau Krisis Malaise, yang juga disusul ancaman meletusnya Perang Pasifik pada awal 1930-an. Situasi ini membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda bertindak lebih progresif. Mereka berpatokan pada kebijakan yang lazim disebut rust en orde (keamanan dan ketertiban).
Sementara, dunia Pergerakan Nasional di Hindia Belanda ketika itu tengah mengalami pergeseran, di mana tampak corak yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Terdapat realitas di mana sayap nonkooperasi kaum nasionalis telah “dipotong di tengah jalan” oleh pemerintah kolonial.
Apalagi, kesadaran tentang pentingnya pendidikan semakin disadari oleh para aktivis pergerakan yang kemudian ditindaklanjuti dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di luar pemerintahan.
Meskipun pemerintah kolonial telah mendirikan berbagai lembaga pendidikan sebagai bagian dari penerapan kebijakan Politik Etis. Namun dalam pendidikan dirasa sangat diskriminatif, di mana hanya anak-anak priyayi yang boleh sekolah di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial.
Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Melalui Taman Siswa, Ki Hajar mencoba memperluas akses pendidikan bagi semua kalangan terutama bumiputera.
Hingga memasuki tahun 1930an, perkembangan lembaga pendidikan ini kian mengkhawatirkan pemerintah kolonial.
Setahun sejak didirikannya Taman Siswa, pemerintah kolonial sebenarnya sudah membuat peraturan tentang pengawasan sekolah-sekolah ini, yang lazim disebut sebagai sekolah liar. Ordonatie atau peraturan ini dimaksudkan sebagai instrumen kontrol dan pengawasan terhadap keberadaan sekolah-sekolah liar.
Namun demikian, sekolah-sekolah liar ini diminati oleh bumiputera karena keadaan ekonomi pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an yang mengakibatkan pengurangan subsidi pemerintah untuk pendidikan.
Wilde Scholen Ordonatie atau Kebijakan Ordonasi Sekolah Liar ini, di sisi yang lain, merupakan langkah preventif dari kekhawatiran pemerintah kolonial jika masyarakat di tanah jajahannya mulai cerdas dan kritis.
Ordonansi Sekolah Liar diumumkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1932, dan pelaksanaannya akan diberlakukan mulai 1 Oktober 1932.
Undang-Undang ini selain mengatur berbagai ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekolah-sekolah yang tidak bersubsidi atau liar (lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang-orang pribumi), juga mengatur untuk guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut.
Semua guru sekolah liar harus mempunyai izin yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat di mana guru itu mengajar. Untuk bisa memperoleh izin dari pemerintah, para guru harus mempunyai sertifikat dari sekolah pemerintah atau sekolah bersubsidi.
Ketentuan lainnya adalah, bahwa para guru yang akan mengajar tidak akan membahayakan ketertiban dalam pandangan pemerintah kolonial.
Ordonansi yang tidak adil itu dan baru akan dilaksanakan itu mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan rakyat Indonesia. Inisiatif untuk mengadakan perlawanan datang dari Ki Hadjar Dewantara.
Tanggal 1 Oktober 1932, Ki Hadjar mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal sebagai tanda protes, yang isinya menyayangkan tindakan pemerintah yang mematikan kepentingan rakyat dan untuk itu mengatakan akan mengadakan “lijdelijk verzet” (melawan dengan cara tidak memakai kekerasan).
Tindakan itu disusul dengan pengiriman maklumat kepada semua pemimpin pergerakan, yang isinya menjelaskan lebih lanjut sikap yang akan diambil oleh Taman Siswa.
Aksi Ki Hadjar Dewantara tersebut mendapat respon positif. Berbagai organisasi politik, sosial dan keagamaan mendukung dan berdiri di belakang Taman Siswa. Dukungan dari berbagai organisasi itu tampak dari munculnya berbagai pernyataan, rapat-rapat umum dan demonstrasi yang menuntut agar ordonansi itu dicabut.
Aksi penentangan meluas hingga ke tubuh Volksraad. Anggota-anggota Fraksi Nasional menuntut agar pemerintah mencabut peraturan tersebut. Seorang anggota Volksraad, M.H. Thamrin, dalam pidatonya di depan sidang mengusulkan agar Ordonansi Sekolah Liar dicabut sebelum tanggal 1 April 1933.
Thamrin juga mengancam akan mengundurkan diri dari Volksraad apabila tuntutan untuk mencabut peraturan itu gagal, dan ada kemungkinan bahwa sikapnya itu akan diikuti oleh anggota yang lain, terutama yang berasal dari Budi Utomo dan Pasudan.
Seandainya hal ini terjadi, pemerintahlah yang akan rugi, karena selama ini selalu mengatakan bahwa Dewan Rakyat adalah suatu dewan dari, oleh dan untuk rakyat. Dan di dalamnya duduk wakil-wakil bangsa Indonesia. Jika demikian maka Dewan Rakyat akan kehilangan arti, karena tidak lagi mempunyai wakil-wakil dari perkumpulan yang bersifat kerakyatan.
Untuk menjaga kewibawaan, pemerintah kolinial akhirnya mencabut Ordonansi Sekolah Liar pada taggal 23 Februari 1933. Kemenangan yang diperoleh Taman Siswa dalam perjuangan tersebut merupakan salah satu puncak keberhasilan perguruan itu, bahkan hal ini menunjukkan keberhasilan Pergerakan Nasional dalam menekan pemerintah kolonial mundur secara lebih jauh dan menyeluruh.
Artikel : buku Ki Hadjar Dewantara dan Taman siswa …, Berita Betawi, dan sumber lainnya dalam naskah buku M.H. Thamrin, Cahaya di Batavia.